Minggu, 18 Desember 2016

Filsafat di Zaman Patristik

Filsafat di Zaman Patristik
Filsafat di zaman Patristik menimbulkan dua pandangan yang berbeda yaitu pandangan yang beranggapan bahwa agama Kristen sudah mempunyai sumber kebenaran yaitu firman Tuhan dan pandangan yang beranggapan bahwa agama Kristen berdasarkan filsafat Yunani. Keduanya saling menuduh dan memfitnah sehingga muncul upaya untuk membela agama Kristen, yaitu para apologis (pembela agama Kristen) dengan kesadarannya membela iman kristen dari serangan filsafat Yunani. Para pembela iman Kristen tersebut antara lain sebagai berikut.[4]
(1)               Justinus Martir
Nama aslinya Justinus, kemudian nama Martir diambil dari istilah “orang-orang yang rela mati hanya untuk kepercayaannyaa”. Menurut pendapatnya, agama Kristen bukan agama baru karena Kristen lebih tua dari filsafat Yunani, dan Nabi Musa dianggap sebagai awal kedatangan Kristen.
(2)               Klemens (150-215 M)
Ia juga termasuk pembela Kristen, tetapi ia tidak membenci filsafat Yunani. Pokok-pokok pikirannya adalah sebagai berikut.
a)      Memberikan batasan-batasan terhadap ajaran Kristen untuk mempertahankan diri dari otoritas filsafat Yunani.
b)      Memerangi ajaran yang anti terhadap Kristen dengan menggunakan filsafat Yunani.
c)      Bagi orang Kristen, filsafat dapat dipakai untuk membela iman Kristen dan memikirkan secara mendalam.
(3)               Tertullianus (160-222 M)
Ia dilahirkan bukan dari keluarga Kristen, tetapi setelah melakukan pertobatan ia menjadi gigih membela Kristen secara fanatik. Ia menolak kehadiran filsafat Yunani karena filsafat dianggap sesuatu yang tidak perlu. Baginya berpendapat, bahwa wahyu Tuhan sudahlah cukup. Tidak ada hubungan antara Yerussalem (pusat agama) dengan Yunani (pusat filsafat), tidak ada hubungan gereja dengan akademi, tidak ada hubungan antara Kristen dengan penemuan baru.
(4)               Augustinus (354-430 M)
Sejak mudanya ia telah mempelajari bermacam-macam aliran filsafat, antara lain Platonisme dan Skeptisisme. Ia telah diakui keberhasilannya dalam membentuk filsafat Kristen yang berpengaruh besar dalam filsafat abad pertengahan sehingga ia dijuluki sebagai guru skolastik yang sejati. Ia seorang tokoh besar di bidang teologi dan filsafat.
Di sisi lain filsafat di zaman Patristik juga mengalami masa keemasan. Zaman keemasan Patristik, meliputi Yunani maupun Latin yang muncul pada masa yang kurang lebih sama. Di Yunani, zaman keemasan terbangun setelah Kaisar Constantinus Agung mengeluarkan “Edik Milano” yang melindungi warganya dalam dan untuk menganut agama Kristen. Sebelumnya, gereja Kristen mengalami penindasan di bawah penguasa Romawi yang menjajahnya. Tiga bapak gereja yang penting untuk dikenal mewakili kehidupan pemikiran masa ini, adalah Gregorius dari Nazianza (330-390), Basilius (330-379), dan adiknya Gregorius dari Nyssa (335-394). Mereka membangun sintesis dari agama Kristen dan kebudayaan helenitas. Di antara ketiga orang tersebut, yang paling pandai adalah Gregorius dari Nyssa. Pada dasarnya, mereka menggunakan neoplatonisme, namun mereka menolak disebut neoplatonisme yang merendahkan materi. Pada abad ke-8, zaman keemasan Patristik Yunani berakhir dengan Johannes Damascenus sebagai raja menulis suatu karya berjudul “Sumber Pengetahuan” yang secara sistematis menggambarkan seluruh sejarah filsafat pada zaman Patristik Yunani, sebanyak tiga jilid. (Sutardjo A. Wiramihardja, 2006 : 52)[5]
Pada abad ke 4, terjadi zaman keemasan Patristik Latin. Nama besar jajaran bapak gereja Barat adalah Augustinus (354-430) yang dinilai menjadi pemikir terbesar untuk seluruh zaman Patristik. Adapun kekuatan dan kelemahan dari pemikiran Augustinus adalah bahwa pemikiran merupakan integrasi dari Teologi Kristen dan pemikiran filsafatinya. Tulisannya adalah penghayatan rohani pribadinya. Ia sendiri tidak sepaham dengan pendapat yang mengatakan bahwa filsafat itu otonom atau lepas dari iman Kristiani. Menurutnya filsafat dapat dipahami sebagai “ Filsafat Kristiani” atau “Kebijaksanaan Kristiani” saja. Dalam filsafat, ia tergolong pengikut neoplatonisme, bahkan platonisme. Pemikiran lain yang memengaruhi Augustinus adalah stoisisme.
Pada pemikiran Augustinus, ada beberapa hal penting yang dapat dipahami, yaitu sebagai berikut.
(1)          Iluminasi atau penerangan. Rasio insani hanya dapat abadi jika mendapat penerangan dari rasio Ilahi. Allah adalah guru yang tinggi dalam batin kita dan menerangi roh manusia.
(2)          Dunia jasmani yang terus-menerus berkembang bergantung kepada Allah.
(3)          Manusia yang dipengaruhi platonisme, tetapi tidak mengakui dualisme ekstrem Plato, jiwanya senantiasa kurung tubuh. Tubuh bukan merupakan sumber kejahatan. Sumber kejahatan adalah dosa yang berasal dari kehendak bebas. (Wiramihardja, 2006 : 54)[6]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar