Filsafat di zaman Patristik menimbulkan dua pandangan yang berbeda yaitu
pandangan yang beranggapan bahwa agama Kristen sudah mempunyai sumber kebenaran
yaitu firman Tuhan dan pandangan yang beranggapan bahwa agama Kristen
berdasarkan filsafat Yunani. Keduanya saling menuduh dan memfitnah sehingga
muncul upaya untuk membela agama Kristen, yaitu para apologis (pembela agama
Kristen) dengan kesadarannya membela iman kristen dari serangan filsafat
Yunani. Para pembela iman Kristen tersebut antara lain sebagai berikut.[4]
(1)
Justinus Martir
Nama aslinya Justinus, kemudian nama Martir
diambil dari istilah “orang-orang yang rela mati hanya untuk kepercayaannyaa”.
Menurut pendapatnya, agama Kristen bukan agama baru karena Kristen lebih tua
dari filsafat Yunani, dan Nabi Musa dianggap sebagai awal kedatangan Kristen.
(2)
Klemens (150-215 M)
Ia juga termasuk pembela Kristen, tetapi ia
tidak membenci filsafat Yunani. Pokok-pokok pikirannya adalah sebagai berikut.
a)
Memberikan batasan-batasan terhadap ajaran Kristen untuk
mempertahankan diri dari otoritas filsafat Yunani.
b)
Memerangi ajaran yang anti terhadap Kristen dengan
menggunakan filsafat Yunani.
c)
Bagi orang Kristen, filsafat dapat dipakai untuk membela
iman Kristen dan memikirkan secara mendalam.
(3)
Tertullianus (160-222 M)
Ia dilahirkan bukan dari keluarga Kristen,
tetapi setelah melakukan pertobatan ia menjadi gigih membela Kristen secara
fanatik. Ia menolak kehadiran filsafat Yunani karena filsafat dianggap sesuatu
yang tidak perlu. Baginya berpendapat, bahwa wahyu Tuhan sudahlah cukup. Tidak
ada hubungan antara Yerussalem (pusat agama) dengan Yunani (pusat filsafat),
tidak ada hubungan gereja dengan akademi, tidak ada hubungan antara Kristen
dengan penemuan baru.
(4)
Augustinus (354-430 M)
Sejak mudanya ia telah mempelajari
bermacam-macam aliran filsafat, antara lain Platonisme dan Skeptisisme. Ia
telah diakui keberhasilannya dalam membentuk filsafat Kristen yang berpengaruh
besar dalam filsafat abad pertengahan sehingga ia dijuluki sebagai guru
skolastik yang sejati. Ia seorang tokoh besar di bidang teologi dan filsafat.
Di sisi lain filsafat di zaman Patristik juga mengalami masa keemasan. Zaman
keemasan Patristik, meliputi Yunani maupun Latin yang muncul pada masa yang
kurang lebih sama. Di Yunani, zaman keemasan terbangun setelah Kaisar
Constantinus Agung mengeluarkan “Edik Milano” yang melindungi warganya dalam
dan untuk menganut agama Kristen. Sebelumnya, gereja Kristen mengalami
penindasan di bawah penguasa Romawi yang menjajahnya. Tiga bapak gereja yang
penting untuk dikenal mewakili kehidupan pemikiran masa ini, adalah Gregorius
dari Nazianza (330-390), Basilius (330-379), dan adiknya Gregorius dari Nyssa
(335-394). Mereka membangun sintesis dari agama Kristen dan kebudayaan
helenitas. Di antara ketiga orang tersebut, yang paling pandai adalah Gregorius
dari Nyssa. Pada dasarnya, mereka menggunakan neoplatonisme, namun mereka
menolak disebut neoplatonisme yang merendahkan materi. Pada abad ke-8, zaman
keemasan Patristik Yunani berakhir dengan Johannes Damascenus sebagai raja
menulis suatu karya berjudul “Sumber Pengetahuan” yang secara sistematis
menggambarkan seluruh sejarah filsafat pada zaman Patristik Yunani, sebanyak
tiga jilid. (Sutardjo A. Wiramihardja, 2006 : 52)[5]
Pada abad ke 4, terjadi zaman keemasan Patristik Latin. Nama besar jajaran
bapak gereja Barat adalah Augustinus (354-430) yang dinilai menjadi pemikir
terbesar untuk seluruh zaman Patristik. Adapun kekuatan dan kelemahan dari
pemikiran Augustinus adalah bahwa pemikiran merupakan integrasi dari Teologi
Kristen dan pemikiran filsafatinya. Tulisannya adalah penghayatan rohani
pribadinya. Ia sendiri tidak sepaham dengan pendapat yang mengatakan bahwa
filsafat itu otonom atau lepas dari iman Kristiani. Menurutnya filsafat dapat
dipahami sebagai “ Filsafat Kristiani” atau “Kebijaksanaan Kristiani” saja.
Dalam filsafat, ia tergolong pengikut neoplatonisme, bahkan platonisme.
Pemikiran lain yang memengaruhi Augustinus adalah stoisisme.
Pada pemikiran Augustinus, ada beberapa hal penting yang dapat dipahami,
yaitu sebagai berikut.
(1)
Iluminasi atau penerangan. Rasio insani hanya dapat abadi
jika mendapat penerangan dari rasio Ilahi. Allah adalah guru yang tinggi dalam
batin kita dan menerangi roh manusia.
(2)
Dunia jasmani yang terus-menerus berkembang bergantung
kepada Allah.
(3)
Manusia yang dipengaruhi platonisme, tetapi tidak
mengakui dualisme ekstrem Plato, jiwanya senantiasa kurung tubuh. Tubuh bukan
merupakan sumber kejahatan. Sumber kejahatan adalah dosa yang berasal dari
kehendak bebas. (Wiramihardja, 2006 : 54)[6]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar