Sudah diuraikan di atas bahwa yang dicari oleh filsafat adalah
kebenaran. Demikian pula ilmu. Agama juga mengajarkan kebenaran. Kebenaran dalam
filsafat dan ilmu adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran
menurut agama adalah "kebenaran wahyu". Kita tidak akan berusaha
mencari mana yang benar atau lebih benar di antara ketiganya, akan tetapi kita
akan melihat apakah ketiganya dapat hidup berdampingan secara damai. Meskipun
filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan akal, hasil yang diperoleh baik oleh
filsafat maupun ilmu juga bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat pada aliran
yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di dalam ilmu. Demikian pula
terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing mengajarkan kebenaran.
Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan agama akan diperlihatkan
sebagai berikut:
Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian
mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan
mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran
kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini
berarti ia telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia meneruskan
bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana
asalnya, bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan
diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik
beratnya ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu
tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika
ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa
ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika
ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya,
jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau
antropologi sosial.[21]
Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang telah
disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui
kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia. Selanjutnya,
jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat
manusia itu, maka jawabannya akan berupa suatu "filsafat". Dalam hal
ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya
dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh,
kebudayaan dan hubungan tadi. Alm.
Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada menggunakan
istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada macam
filsafat ini. Jawaban yang
dikemukan bermacam-macam antara lain:
Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis
asas ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal
ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.
Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang
masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa
dan raga tidak terdapat hubungan.
Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas,
misalnya badan, jiwa dan roh.
Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas,
misalnya api, udara, air dan tanah.[22]
Demikianlah disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang
berupa filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut
dari ilmu (Hasil pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi
ilmu). Di sinilah batas kemampuan akal manusia. Dengan akalnya ia tidak akan
dapat menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan
akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas tertentu. Hal
ini sesuai dengan pendapat Immanuel Kant dalam Kritiknya terhadap rasio yang
murni, yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena belaka, sedang bagaimana
nomena-nya ia tidak tahu. Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang dapat
menjawab pertanyaan lebih lanjut mengenai manusia adalah agama; misalnya,
tentang pengalaman apa yang akan dijalani setelah seseorang meninggal dunia.
Jadi, sesungguhnya filsafat tidak hendak menyaingi agama. Filsafat tidak hendak
menambahkan suatu kepercayaan baru.
Selanjutnya, filsafat dan ilmu juga dapat mempunyai hubungan yang
baik dengan agama. Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut
ajaran agama kepada manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan
(menginterpretasikan) teks-teks sucinya. Filsafat membantu dalam memastikan arti
objektif tulisan wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran untuk
teologi. Filsafat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru.
Misalnya, mengusahakan mendapat anak dengan in vitro fertilization ("bayi
tabung") dapat dibenarkan bagi orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab
Suci diam seribu bahasa tentang bayi tabung. Filsafatlah,
dalam hal ini etika, yang dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa
sehingga agama dapat menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip moralitasnya
sendiri. Sebaliknya, agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang
tidak dapat dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat. Meskipun demikian,
tidak juga berarti bahwa agama adalah di luar rasio, agama adalah tidak
rasional. Agama bahkan
mendorong agar manusia memiliki sikap hidup yang rasional: bagaimana manusia
menjadi manusia yang dinamis, yang senantiasa bergerak, yang tak cepat puas
dengan perolehan yang sudah ada di tangannya, untuk lebih mengerti kebenaran,
untuk lebih mencintai kebaikan, dan lebih berusaha agar cinta Allah kepadanya
dapat menjadi dasar cintanya kepada sesama sehingga bersama-sama manusia yang lain
mampu membangun dunia ini.[23]
Selanjutnya filsafat memiliki peran dalam agama. Pertama. Salah
satu masalah yang dihadapi oleh setiap agama wahyu adalah masalah interpretasi.
Maksudnya, teks wahyu yang merupakan Sabda Allah selalu dan dengan sendirinya
terumus dalam bahasa dari dunia. Akan tetapi segenap makna dan arti bahasa
manusia tidak pernah seratus persen pasti. Itulah sebabnya kita begitu sering
mengalami apa yang disebut salah paham. Hal itu juga berlaku bagi bahasa wahana
wahyu. Hampir pada setiap kalimat ada kemungkinan salah tafsir. Oleh karena itu
para penganut agama yang sama pun sering masih cukup berbeda dalam pahamnya tentang
isi dan arti wahyu. Dengan kata lain, kita tidak pernah seratus persen merasa
pasti bahwa pengertian kita tentang maksud Allah yang terungkap dalam teks
wahyu memang tepat, memang itulah maksud Allah. Oleh sebab itu, setiap agama
wahyu mempunyai cara untuk menangani masalah itu. Agama Islam, misalnya,
mengenai ijma' dan qias. Nah, dalam usaha manusia seperti itu, untuk memahami
wahyu Allah secara tepat, untuk mencapai kata sepakat tentang arti salah satu
bagian wahyu, filsafat dapat saja membantu. Karena jelas bahwa jawaban atas
pertanyaan itu harus diberikan dengan memakai nalar (pertanyaan tentang arti
wahyu tidak dapat dipecahkan dengan mencari jawabannya dalam wahyu saja, karena
dengan demikian pertanyaan yang sama akan muncul kembali, dan seterusnya).
Karena filsafat adalah seni pemakaian nalar secara tepat dan bertanggungjawab,
filsafat dapat membantu agama dalam memastikan arti wahyunya. Kedua,
secara spesifik, filsafat selalu dan sudah memberikan pelayanan itu kepada ilmu
yang mencoba mensistematisasikan, membetulkan dan memastikan ajaran agama yang
berdasarkan wahyu, yaitu ilmu teologi. Maka secara tradisional-dengan sangat
tidak disenangi oleh para filosof-filsafat disebut ancilla theologiae (abdi
teologi). Teologi dengan sendirinya memerlukan paham-paham dan metode-metode
tertentu, dan paham-paham serta metode-metode itu dengan sendirinya diambil
dari filsafat. [24]Misalnya,
masalah penentuan Allah dan kebebasan manusia (masalah kehendak bebas) hanya
dapat dibahas dengan memakai cara berpikir filsafat. Hal yang sama juga berlaku
dalam masalah "theodicea", pertanyaan tentang bagaimana Allah yang
sekaligus Mahabaik dan Mahakuasa, dapat membiarkan penderitaan dan dosa
berlangsung (padahal ia tentu dapat mencegahnya). Begitu pula Christologi
(teologi kristiani tentang Yesus Kristus) mempergunakan paham-paham filsafat
Yunani dalam usahanya mempersatukan kepercayaan pada hakekat nahi Yesus Kristus
dengan kepercayaan bahwa Allah hanyalah satu. Ketiga, filsafat dapat membantu
agama dalam menghadapi masalah-masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada
waktu wahyu diturunkan belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam
wahyu. Itu terutama relevan dalam bidang moralitas. Misalnya masalah bayi
tabung atau pencangkokan ginjal. Bagaimana orang mengambil sikap terhadap dua
kemungkinan itu : Boleh atau tidak? Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri
pada agamanya, padahal dalam Kitab Suci agamanya, dua masalah itu tak pernah
dibahas? Jawabannya hanya dapat ditemukan dengan cara menerapkan prinsip-prinsip
etika yang termuat dalam konteks lain dalam Kitab Suci pada masalah baru itu.
Nah, dalam proses itu diperlukan pertimbangan filsafat moral. Filsafat juga
dapat membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis yang menggugah agama,
dengan mengacu pada hasil ilmu pengetahuan dan ideologi-ideologi masa kita,
misalnya pada ajaran evolusi atau pada feminisme. Keempat,
yang dapat diberikan oleh filsafat kepada agama diberikan melalui fungsi
kritisnya. Salah satu tugas filsafat adalah kritik ideologi. Maksudnya adalah
sebagai berikut. Masyarakat terutama masyarakat pasca tradisional, berada di
bawah semburan segala macam pandangan, kepercayaan, agama, aliran, ideologi,
dan keyakinan. Semua pandangan itu memiliki satu kesamaan: Mereka mengatakan
kepada masyarakat bagaimana ia harus hidup, bersikap dan bertindak. Filsafat
menganalisa claim-claim ideologi itu secara kritis, mempertanyakan dasarnya,
memperlihatkan implikasinya, membuka kedok kepentingan yang barangkali ada di
belakangnya.[25]
Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama
terhadap pandangan-pandangan saingan, terutama pandangan-pandangan yang mau
merusak sikap jujur, takwa dan bertanggungjawab. Fisafat
tidak sekedar mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita sendiri,
melainkan mempergunakan argumentasi rasional. Agama sebaiknya menghadapi
ideologi-ideologi saingan tidak secara dogmatis belaka, jadi hanya karena
berpendapat lain, melainkan berdasarkan argumentasi yang obyektif dan juga
dapat dimengerti orang luar. Arah kedua menyangkut agamanya sendiri. Filsafat
dapat mempertanyakan, apakah sesuatu yang oleh penganut agama dikatakan sebagai
termuat dalam wahyu Allah, memang termasuk wahyu itu. Jadi, filsafat dapat
menjadi alat untuk membebaskan ajaran agama dari unsur-unsur ideologis yang
menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak termuat dalam wahyu, melainkan hanya
berdasarkan sebuah interpretasi subyektif. Maka filsafat membantu pembaharuan
agama. Berhadapan dengan tantangan-tantangan zaman, agama tidak sekedar
menyesuaikan dirinya, melainkan menggali jawabannya dengan berpaling kembali
kepada apa yang sebenarnya diwahyukan oleh Allah. Dengan cara menyadari keadaan
serta kedudukan masing-masing, maka antara ilmu dan filsafat serta agama dapat
terjalin hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Karena, semakin jelas
pula bahwa seringkali pertanyaan, fakta atau realita yang dihadapi seseorang
adalah hal yang sama, namun dapat dijawab secara berbeda sesuai dengan proporsi
yang dimiliki masing-masing bidang kajian, baik itu ilmu, filsafat maupun
agama. Ketiganya dapat saling menunjang dalam menyelesaikan persoalan yang
timbul dalam kehidupan.[26]
Sesungguhnya kaum Ionian telah membuat pemisahan antara filsafat
dan ilmu. Namun dalam kenyataannya, sekarang filsafat
memiliki arti yang sangat terbatas. Hal ini terjadi karena filsafat telah
menjadi korban kesuksesannya sendiri. Bermula
dari penyelidikan tentang cara kerja alam semesta, cabang penyelidikan tersebut
segera memberikan hasil yang positif, tetapi kemudian bidang tersebut dialihkan
dari filsafat lalu dinamakan sebagai ilmu. Dengan demikian ilmu merupakan anak
dari filsafat. Begitu pula agama, mutlak
harus ada dan diseimbangkan dengan ilmu. Karena di dalam kemajuan ilmu, seseorang
berkiblat kepada moral, dan moral yang di tata secara hakiki adalah agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar