Realisme
Dalam pemikiran filsafat, realisme berpandangan bahwa kenyataan
tidaklah terbatas pada pengalaman inderawi ataupun gagasan yang tebangun
dari dalam. Dengan demikian realisme dapat dikatakan sebagai bentuk
penolakan terhadap gagasan ekstrim idealisme dan empirisme. Dalam
membangun ilmu pengetahuan, realisme memberikan teori dengan metode
induksi empiris. Gagasan utama dari realisme dalam konteks pemerolehan
pengetahuan adalah bahwa pengetahuan didapatkan dari dual hal, yaitu
observasi dan pengembangan pemikiran baru dari observasi yang dilakukan.
Dalam konteks ini, ilmuwan dapat saja menganalisa kategori
fenomena-fenomena yang secara teoritis eksis walaupun tidak dapat
diobservasi secara langsung.
Tradisi realisme mengakui bahwa entitas yang bersifat abstrak dapat
menjadi nyata (realitas) dengan bantuan symbol-simbol linguistik dan
kesadaran manusia. Gagasan ini sejajar dengan filsafat modern dari
pendekatan pengetahuan versi Kantianism fenonomologi sampai pendekatan
struktural (Ibid, 2002). Mediasi bahasa dan kesadaran manusia yang
bersifat nyata inilah yang menjadi ide dasar ‘Emile Durkheim’ dalam
pengembangan ilmu pengetahuan sosial. Dalam area linguistik atau ilmu
bahasa, de Saussure adalah salah satu tokoh yang terpengaruh mengadopsi
pendekatan empirisme Durkheim. Bagi de Saussure, obyek penelitian bahasa
yang diteliti diistilahkan sebagai ‘la langue’ yaitu simbol-simbol
linguistic yang dapat diobservasi (Francis & Dinnen, 1996)
Ide-ide kaum realis seperti ini sangatlah kontributif pada abad 19
dalam menjembatani antara ilmu alam dan humaniora, terutama dalam
konteks perdebatan antara klaim-klaim kebenaran dan metodologi yang
disebut sebagai ‘methodenstreit’ (Calhoun, 2002). Kontribusi lain dari
tradisi realisme adalah sumbangannya terhadap filsafat kontemporer ilmu
pengetahuan, terutama melalui karya Roy Bashkar, dalam memberikan
argument-argument terhadap status ilmu pengetahuan spekulatif yang
diklaim oleh tradisi empirisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar