PENGANTAR
PENDIDIKAN
KASUS
“PENINGKATAN KUALITAS
DAN RELEVAN PENDIDIKAN”
![Logo-Untirta-Final.jpg](file:///C:\Users\LENOVO~1\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.jpg)
Disusun
Oleh :
Arisal Caisar (2225150002)
Mutiara Ramadhan (2225150003)
Destyana Saraswati (2225150006)
Siti Nur Azizah (2225150013)
Atikah (2225150014)
Nada Setiyani (2225150027)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sudah merupakan pendapat
umum bahwa kemakmuran suatu bangsa berkaitan erat dengan kualitas
atau mutu pendidikan bangsa yang bersangkutan. Bahakan lebih spesifik lagi,
bangsa-bangsa yang berhasil mencapai kemakmuran dan kesejahteraan dewasa ini
adalah bangsa-bangsa yang melaksanakan pembangunan berdasarkan strategi pengembangan
sumber daya insane. Artinya, melaksanakan pembangunan nasional dengan
menekankan pada pembangunan pendidikan guna pengembangan kualitas sumber daya
manusia. Pengembangan sumber daya manusia, dari aspek pendidikan berarti
mengembangkan pendidikan baik aspek kuantitas maupun kualitas. Aspek kuantitas
menekankan pada perluasan sekolah sehingga penduduk memilki akses untuk bisa
mendapatkan pelayanan pendidikan tanpa memandang latar belakang kehidupan
mereka. Dari aspek kualitas , pengembangan sumber daya manusia berarti
pendidikan dalam hal ini kualitas sekolah harus selalu ditingkatkan dari waktu
ke waktu. Kualitas sekolah memiliki tekanan bahwa lulusan sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal memiliki kemampuan yang relevan dan diperlukan dalam
kehidupannya.
Peningkatan mutu
pendidikan melalui standarisasi dan profesionalisasi yang sedang dilakukan
dewasa ini menuntut pemahaman berbagai pihak terhadap perubahan yang terjadi
dalam berbagai komponen sistem pendidikan. Perubahan kebijakan
pendidikan dari sentralisasi menjadi desentralisasi telah menekankn bahwa
pengambilan kebijakan berpindah dari pemerintah pusat (top government)
ke pemerintahan daerah (district government), yang
berpusat di pemerintahan kota dan Kabupaten. Dengan demikian,
kewenangan-kewenangan penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan dasar
dan menengah berada di pundak Pemerintah Kota dan Kabupaten, sehingga
implementasinya akan diwarnai oleh political willpemerintah daerah,
yang dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda). Dalam hal ini, tentu saja yang
paling menentukan adaah Bupati/Walikota, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
dan Kepala Dinas Pendidikan beserta jajarannya. Oleh karena itu, merekalah yang
paling bertanggung jawab terhadap peningkatan mutu/kualitas pendidikan di
daerahnya, meskipun tidak selamanya demikian, karena dalam pelaksanaannya tidak
sedikit penyimpangan dan salah penafsiran terhadap kebijakan yang digulirkan,
sehingga menimbulkan berbagai kerancuan bahkan penurunan kualitas.
Dalam konteks otonomi
daerah dan desentralisasi pendidikan, keberhasilan dan kegagalan pendidikan di
sekolah sangat bergantung pada guru, kepala sekolah dan pengawas, karena ketiga
figur tersebut merupakan kunci yang menetukan serta menggerakan berbagai
komponen dan dimensi sekolah yang lain (Mulyasa, 2012). Dalam posisi tersebut
baik buruknya komponen sekolah yang lain sangat ditentukan oleh kualitas guru,
kepala sekolah, dan pengawas, tanpa mengurangi arti penting tenaga pendidikan
yang lain. Implementasi desentralisasi pendidikan menuntut kepala sekolah dan
pengawas untuk mengembangkan sekolah yang efektif dan produktif, dengan penuh
kemandirian dan akuntabilitas.
Pendidikan bangsa
Indonesia sekarang ini sangat memprihatinkan banyak kasus-kasus yang terjadi di
setiap penjuru negeri. Masalah pendidikan yang ada di Indonesia semakin
hari semakin rumit, bertambah banyak dan komplek. Salah satu permasalahan
pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan
pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, meskipun mungkin telah
banyak upaya dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional,
misalnya kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pengadaan
buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana dan
peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu
pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah,
terutama di kota-kota menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup
menggembirakan, tetapi sebagian lainnya masih memprihatinkan.
A.
Landasan
Hukum
Dasar
hukum dalam pembinaan pendidikan karakter antara lain:
1. Pancasila
Sebagai dasar negara mengandung nilai-nilai: Ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan
2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954
“Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia
susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”
3. Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1989
“Tujuan pendidikan adalah mencerdasakan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribandian yang
mantap dan mandiri serta rasa taggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”
4. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen.
·
Bab
XIII ( Pendidikan dan KebudayaanI) Pasal 31 Ayat 3
“Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”
·
Bab
XIII ( Pendidikan dan KebudayaanI) Pasal 31 Ayat 5
“Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia”
5.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
·
Bab
I (Ketentuan Umum) Pasal 1 Ayat 1
“Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara”
·
Bab
I (Ketentuan Umum) Pasal 1 Ayat 2
“Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”
·
Bab
II (Dasar, Fungsi, dan Tujuan) Pasal 1
“Pendidikan
nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”
·
Bab
II (Dasar, Fungsi, dan Tujuan) Pasal 2
“Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”
6.
Undang-undang RI Nomor 17 Tahun 2007
tentang RPJPN 2005-2025)
“Tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral,
bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi
ipteks berdasarkan pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada tuhan yang
maha esa.”
7.
Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
Bab II (lingkup, Fungsi, dan Tujuan) Pasal 4
“Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu
pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat”
8. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun
2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Bab
III (Penyelenggaraan Pendidikan Formal)
Bagian
Pertama (Pendidikan Anak Usia Dini)
Pasal
61 Ayat 2
Pendidikan
anak usia dini bertujuan:
a. membangun
landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia berkepribadian luhur,
sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab; dan
b. mengembangkan potensi
kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, kinestetis, dan social peserta
didik pada masa emas pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan
menyenangkan.
Tujuan Pendidikan Tingkat
Selanjutnya
Pasal
67 Ayat 3 : Pasal 77 : Pasal 84 Ayat 2
Pendidikan
dasar bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi
peserta
didik agar menjadi manusia yang:
a. beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur;
b. berilmu, cakap, kritis, kreatif,
dan inovatif;
c. sehat, mandiri, dan percaya diri;
dan
toleran,
peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab.
9. Kepres RI Nomor 145
“Tujuan pendidikan supaya : melahirkan negara sosialis
Indonesia yang susila, yang bertanggungjawab atas terselenggaranya masyarakat
sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun materil dan berjiwa
pancasila”
10. Ketetapan MPRS No.XXVII/MPR/1966
“Tujuan pendidikan yaitu membentuk manusia Pancasila Sejati
berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 dan isi Undang-undang Dasar 1945”
11. Ketetapan MPR No.IV/MPR/1973
“Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan
berlangsung seumur hidup. Sesuai dengan hakekat pembnagunan yang menekankan
kepada “Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia”
12. Ketetapan MPR No.II/MPR/1988
“memformulasikan tujuan pendidikan sebagai berikut : untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonsia yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, bekerja
keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas, dan terampil serta sehat
jasmani dan rohani, juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta
pada tanah air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial”
13. Ketetapan MPR No.11/MPR/1983
“Tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi
pekerti, memperkuat kepribadian, mempertebal semangat kebangsaan dan cita tanah
air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membnagun
dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”
14. Permendiknas No 39 Tahun 2008
Tentang Pembinaan Kesiswaan.
Bab
I (Tujuan, Sasaran, dan Ruang Lingkup) Pasal 1
Tujuan
pembinaan kesiswaan :
a. Mengembangkan potensi siswa secara
optimal dan terpadu yang meliputi bakat, minat, dan kreativitas;
b. Memantapkan kepribadian siswa
untuk mewujudkan ketahanan sekolah sebagai lingkungan pendidikan sehingga
terhindar dari usaha dan pengaruh negatif dan bertentangan dengan tujuan
pendidikan;
c. Mengaktualisasikan potensi siswa
dalam pencapaian prestasi unggulan sesuai bakat dan minat;
d. Menyiapkan siswa agar menjadi warga
masyarakat yang berakhlak mulia, demokratis, menghormati hak-hak asasi manusia dalam
rangka mewujudkan masyarakat madani (civil society).
15.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi .
·
Bab
I (Pendahuluan) Pafagraf 1
“Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem
pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.”
·
Bab
I (Pendahuluan) Paragraf 2
“Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen
pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib
belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan
kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan
olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global.
Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang
sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya alam Indonesia.
Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan manajemen
berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara terencana,
terarah, dan berkesinambungan.”
16. Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar
Kompetensi Lulusan.
a. Pendidikan Dasar, yang meliputi
SD/MI/SDLB/Paket A dan SMP/MTs./SMPLB/Paket B bertujuan: Meletakkan dasar
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
b. Pendidikan Menengah yang terdiri
atas SMA/MA/SMALB/Paket C bertujuan: Meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut .
c. Pendidikan Menengah Kejuruan yang
terdiri atas SMK/MAK bertujuan: Meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya
17.
Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2003
·
Dalam
UU No 20 Tahun 2003
Bab
I Pasal 1 Ayat ke 2
“Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.”
Pancasila yang merupakan falsafah bangsa. Namun, fenomena
keseharian kita menunjukkan bahwa perilaku masyarakat belum sejalan dengan
karakter bangsa yang dijiwai oleh falsafah Pancasila. Kondisi ini menyebabkan
munculnya keinginan pemerintah dan berbagai kalangan masyarakat untuk
merevitalisasi peran Pancasila dalam membangun karakter bangsa.
Tujuan dari pembangunan karakter adalah untuk mengembangkan
karakter bangsa agar mampu mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila. Pembangunan
karakter ini berfungsi untuk mengembangkan potensi dasar agar berbaik hati,
berpikiran baik, dan berperilaku baik; memperbaiki perilaku yang kurang baik
dan menguatkan perilaku yang sudah baik; serta menyaring budaya yang kurang
sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
·
Dalam
UU No 20 Tahun 2003
Bab
II Pasal 3
“Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”
Tujuan pendidikan yang mencakup tiga dimensi. Yaitu dimensi
ketuhanan, pribadi dan sosial. Artinya, pendidikan bukan diarahkan pada pendidikan
yang sekuler, bukan pada pendidikan individualistik, dan bukan pula pada
pendidikan sosialistik. Tapi pendidikan yang diarahkan di Indonesia itu adalah
pendidikan mencari keseimbangan antara ketuhanan, individu dan sosial. Dimesi
ketuhanan yang menjadi tujuan pendidikan ini tak menjadikan pendidikan menjadi
pendidikan yang sekuler. Karena dalam pendidikan sekuler, agama hanya akan
dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran tanpa menjadikannya dasar dari ilmu
yang dipelajari.
Namun terkadang kita bangga melihat corak dan karakteristik
pendidikan Barat yang unik dan maju. Tetapi tidak bisa mengesampingkan
kebobrokan moral dan etika yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial
manusia yang agung. Dan juga menghilangkan fitrah asal manusia itu sendiri.
Seperti teori Darwin. Jadi pendidikan di Indonesia tidak memisahkan antara
agama dan pendidikan, namun keduanya disandingkan untuk mencapai generasi yang
berotak Jerman dan berhati Mekkah. Sehingga generasi yang terbentuk itu tidak
menjunjung tinggi nilai-nilai materialistik saja. Dengan menjadikan agama
sebagai landasasan, generasi Indonesia menjadi generasi mempunyai
karakterisitik sendiri sebagaimana yang sering disebut dalam pendidikan
karakter.
Orang sering terjebak, pendidikan karakter itu diterjemahkan
hanya sebagai sopan santun. Padahal lebih dari itu. Yang mau dibangun adalah
karakter-budaya yang menumbuhkan kepenasaranan intelektual (intellectual
curiosity) sebagai modal untuk mengembangkan kreativitas dan daya inovatif
yang dijiwai dengan nilai kejujuran dan dibingkai dengan kesopanan dan
kesantunan.
Dalam
UU No 20 Tahun 2003 di sebutkan bahwa
“Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
B. Masalah-masalah
Pendidikan di Indonesia
Upaya
untuk mewujudkan visi dan misi tersebut mengalami kesulitan jika berbagai
masalah dalam proses pendidikan muncul. Masalah dapat diartikan sebagai
kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi. Jika apa yang
terjadi atau yang tercapai dalam pendidikan tidak seperti yang diharapkan maka
masalah pendidikan telah terjadi.
Masalah-masalah
pendidikan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu: masalah
partisipasi/kesempatan memperoleh pendidikan, masalah efisiensi, masalah
efektivitas, dan masalah relevansi pendidikan (Redja
Mudyahardjo, 2001: 496)
a. Masalah partisipasi pendidikan
Masalah partisipasi atau kesempatan memperoleh pendidikan
adalah rasio atau perbandingan antara masukan pendidikan (raw input)
atau jumlah penduduk yang tertampung dalam satuan-satuan pendidikan. Keberadaan
masalah ini dapat diketahui dari individu-individu yang mestinya menjadi
peserta didik pada satuan pendidikan tertentu tetapi kenyataannya tidak
demikian. Misalnya saja di berbagai daerah masih banyak anak-anak yang mestinya
menjadi peserta didik pada satuan pendidikan TK tetapi belum menjadi bagian
dari satuan pendidikan tersebut. Hal demikian tentunya akan menimbulkan masalah
pada saat mereka masuk sekolah dasar. Demikian juga banyaknya individu lulusan
SMA yang tidak melanjutkan pendidikannya pada perguruan tinggi. Untuk bekerja
mereka belum memiliki bekal yang mamadai.
b. Masalah efisiensi pendidikan
Masalah efisiensi pendidikan berkenaan dengan proses
pengubahan atau transformasi masukan produk (raw input) menjadi produk
(output). Salah satu cara menentukan mutu transformasi pendidikan adalah
mengitung besar kecilnya penghamburan pendidikian (educational wastage), dalam
arti mengitung jumlah murid/mahasiswa/peserta didik yangputus sekolah,
meng-ulang atau selesai tidak tepat waktu.
Jika peserta didik sebenarnya memiliki potensi yang
memadai tetapi mereka tidak naik kelas, putus sekolah, tidak lulus berarti ada
masalah dalam efisiensi pendidikan. Masalah efisiensi pendidikan juga terjadi
di perguruan tinggi. Masalah tersebut dapat diketahui dari adanya para
mahasiswa yang sebenarnya potensial tetapi putus kuliah dan gagal menyelesaikan
pendidikannya pada waktu yang tepat.
c. Masalah efektivitas pendidikan
Masalah efektivitas pendidikan berkenaan dengan rasio
antara tujuan pendidian dengan dengan hasil pendidikan (output), artinya sejauh
mana tingkat kesesuaian antara apa yang diharapkan dengan apa yang dihasilkan,
baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Pendidikan merupakan proses yang
bersifat teleologis, yaitu diarahkan pada tujuan tertentu, yaitu berupa
kualifikasi ideal. Jika peserta didik telah menyelesaikan pendidikannya namun
belum menunjukkan kemampuan dan karakteristik sesuai dengan kualifiksi yang
diharapkan berarti adalah masalah efektivitas pendidikan.
d. Masalah relevansi pendidikan
Masalah ini berkenaan dengan rasio antara tamatan yang
dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di
atasnya atau indtitusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif
maupun secara kualitatif.
Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari
satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan
teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi
juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu,
yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap
untuk bekerja
C. Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan di
Indonesia
o Untuk
meningkatkan mutu pendidikan kita perlu melihat dari banyak sisi. Telah banyak
pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi
mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di lndonesia. Dengan masukan ilmiah ahli
itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.
o Dalam
persfektif makro banyak faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan, diantaranya
faktor kurikulum, kebijakan pendidikan, fasilitas pendidikan, aplikasi
teknologi informasi dan komunikasi dalam dunia pendidikan, khususnya dalam
kegiatan proses belajar mengajar, aplikasi metode, strategi dan pendekatan
pendidikan yang mutakhir dan modern, metode evaluasi pendidikan yang tepat,
biaya pendidikan yang memadai, manajement pendidikan yang dilaksanakan secara
profesional, sumberdaya manusia para pelaku pendidikan yang terlatih,
berpengetahuan, berpengalaman dan profesional (Hadis dan Nurhayati, 2010:3).
·
Masukan ilmiah yang disampaikan para ahli dari
negara-negara yang berhasil menerapkannya, seperti Amerika Serikat, Australia,
Kanada, Selandia Baru dan Singapura selalu memunculkan konsep yang tidak selalu
bisa diadopsi dan diadaptasi. Karena berbagai macam latar yang berbeda.
Situasi, kondisi, latar budaya dan pola pikir bangsa kita tentunya tidak
homogen dengan negara-negara yang diteladani. Malahan, konsep yang di impor itu
terkesan dijadikan sebagai “proyek” yang bertendensi pada kepentingan pribadi
atau kelompok tertentu. Artinya, proyek bukan sebagai alat melainkan sebagai
tujuan.
·
Beberapa penerapan pola peningkatan mutu di
Indonesia telah banyak dilakukan, namun masih belum dapat secara langsung
memberikan efek perbaikan mutu. Di antaranya adalah usaha peningkatan mutu
dengan perubahan kurikulum dan proyek peningkatan lain; Proyek Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek Perpustakaan, Proyek Bantuan
Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan lmbal Swadaya (BIS), Proyek
Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung
(DBL), Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM).
Dengan memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa
pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu
sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan.
·
Dalam persfektif mikro atau tinjauan secara
sempit dan khusus, faktor dominan yang berpengaruh dan berkontribusi besar
terhadap mutu pendidikan ialah guru yang profesional dan guru yang sejahtera
(Hadis dan Nurhayati, 2010:3). Oleh karena itu, guru sebagai suatu profesi
harus profesional dalam melaksanakan berbagai tugas pendidikan dan pengajaran,
pembimbingan dan pelatihan yang diamanahkan kepadanya.
·
Dalam proses pendidikan guru memiliki peranan
sangat penting dan strategis dalam membimbing pesserta didik kearah kedewasaan,
kematangan dan kemandirian, sehingga guru sering dikatakan ujung tombak
pendidikan. Dalam melaksanakan tugasnya seorang guru tidak hanya menguasai
bahan ajar dan memiliki kemampuan teknis edukatif tetapi memiliki juga
kepribadian dan integritas pribadi yang dapat diandalkan sehingga menjadi sosok
panutan bagi peserta didik, keluarga maupun masyarakat (Sagala, 2007:99).
Berikut
ini adalah elemen dasar bagaimana kita dapat meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia (Bull, 2010):
a. Insan Pendidikan Patut Mendapatkan
Penghargaan Karena itu Berikanlah Penghargaan
“Manajemen Sumber Daya Manusia”
mengatakan, penghargaan diberikan untuk menarik dan mempertahankan SDM karena
diperlukan untuk mencapai saran-saran organisasi. Staf (guru) akan termotivasi
jika diberikan penghargaan ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan komisi)
maupun penghargaan instrinsik (pujian, tantangan, pengakuan, tanggung jawab,
kesempatan dan pengembangan karir). Manusia mempunyai sejumlah kebutuhan yang
memiliki lima tingkatan (hierarchy of needs) yakni, mulai dari kebutuhan
fisiologis (pangan, sandang dan papan), kebutuhan rasa aman ( terhindar dari
rasa takut akan gangguan keamanan), kebutuhan sosial (bermasyarakat), kebutuhan
yang mencerminkan harga diri, dan kebutuhan mengaktualisasikan diri di tengah
masyarakat.
Pendidik dan pengajar sebagai manusia
yang diharapkan sebagai ujung tombak meningkatkan mutu berhasrat mengangkat
harkat dan martabatnya. Jasanya yang besar dalam dunia pendidikan pantas untuk
mendapatkan penghargaan intrinsik dan ekstrinsik agar tidak termarjinalkan
dalam kehidupan masyarakat.
b. Meningkatkan Profesionalisme Guru
dan Pendidik
Kurikulum dan panduan manajemen
sekolah sebaik apapun tidak akan berarti jika tidak ditangani oleh guru
profesional. Karena itu tuntutan terhadap profesinalisme guru yang sering
dilontarkan masyarakat dunia usaha/industri, legislatif, dan pemerintah adalah
hal yang wajar untuk disikapi secara arif dan bijaksana.
Konsep tentang guru profesional ini
selalu dikaitkan dengan pengetahuan tentang wawasan dan kebijakan pendidikan,
teori belajar dan pembelajaran, penelitian pendidikan (tindakan kelas), evaluasi
pembelajaran, kepemimpinan pendidikan, manajemen pengelolaan kelas/sekolah,
serta tekhnologi informasi dan komunikasi.
Fenomena menunjukkan bahwa kualitas
profesionalisme guru kita masih rendah. Faktor-faktor internal seperti
penghasilan guru yang belum mampu memenuhi kebutuhan fisiologis dan profesi
masih dianggap sebagai faktor determinan. Akibatnya, upaya untuk menambah
pengetahuan dan wawasan menjadi terhambat karena ketidakmampuan guru secara
financial dalam pengembangan SDM melalui peningkatan jenjang pendidikan.
Hal itu juga telah disadari
pemerintah sehingga program pelatihan mutlak diperlukan karena terbatasnya
anggaran untuk meningkatkan pendidikan guru. Program pelatihan ini dimaksudkan
untuk menghasilkan guru sebagai tenaga yang terampil (skill labour) atau dengan
istilah lain guru yang memiliki kompetensi.
c. Kurangi dan Berantas Korupsi
Menurut laporan BPK tahun 2003 lalu,
Depdiknas merupakan lembaga pemerintah terkorup kedua setelah Departemen Agama.
Kemudian Laporan ICW menyebutkan bahwa korupsi dalam dunia pendidikan dilakukan
secara bersama-sama (Amin Rais menyebutnya korupsi berjamaah) dalam berbagai
jenjang mulai tingkat sekolah, dinas, sampai departemen. Pelakunya mulai dari
guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan seterusnya masuk dalam jaringan
korupsi. Sekolah yang diharapkan menjadi benteng pertahanan yang menjunjung
nilai-nilai kejujuran justru mempertotonkan praktik korupsi kepada peserta
didik.
Korupsi itu berhubungan dengan dana
yang berasal dari pemerintah dan dana yang langsung ditarik dari masyarakat.
Jika selama ini anggaran pendidikan yang sangat minim dikeluhkan, ternyata dana
yang kecil itupun tak luput dari korupsi. Hal ini tidak terlepas dar kekaburan
sistem anggaran sekolah. Kekaburan dalam sistem anggaran (RAPBS) itu memungkinkan
kepala sekolah mempraktikkan Pembiayaan Sistem Ganda (PSG). Misalnya dana
operasional pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana pemerintah
dibebankan lagi kepada masyarakat.
Semakin terpuruknya peringkat SDM
Indonesia pada tahun 2004, tak perlu hanya kita sesali, melainkan menjadikannya
sebagai motivasi untuk bangkit dari keterpurukan. Jika kondisi itu mau diubah
mulailah dari menerapkan konsep yang berpijak pada akar masalah.
d. Berikan Sarana dan Prasarana yang
Layak
Dengan diberlakukannya kurikulum 2004
(KBK), kini guru lebih dituntut untuk mengkontekstualkan pembelajarannya dengan
dunia nyata, atau minimal siswa mendapat gambaran miniatur tentang dunia nyata.
Harapan itu tidak mungkin tercapai tanpa bantuan alat-alat pembelajaran (sarana
dan prasarana pendidikan).
Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001
tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), sekolah harus memiliki persyaratan
minimal untuk menyelenggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan cukup
seperti, luas lahan, perabot lengkap, peralatan/laboratorium/media,
infrastruktur, sarana olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu
dirasakan sangat tepat karena dengan keputusan ini diharapkan penyelenggaraan
pendidikan di sekolah tidak “kebablasan cepat” atau “keterlaluan tertinggal” di
bawah persyaratan minimal sehingga kualitas pendidikan menjadi semakin
terpuruk.
Selanjutnya, UU Sisdiknas No. 20/2003
pasal 45 ayat (1) berbunyi, setiap satuan pendidikan menyediakan sarana dan
prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan
kejiwaan peserta didik. Jika kita lihat kenyataan di lapangan bahwa hanya
sekolah-sekolah tertentu di beberapa kota di Indonesia saja yang memenuhi
persyaratan SPM, umumnya sekolah negeri dan swasta favorit. Berdasarkan fakta
ini, keterbatasan sarana dan prasarana pada sekolah-sekolah tertentu,
pengadaannya selalu dibebankan kepada masyarakat. Alasannya pun telah
dilegalkan berdasarkan Kepmendiknas No. 044/U/2002 dan UU Sisdiknas No. 20/2003
pasal 56 ayat (1). Dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi
perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan melalui dewan
pendidikan dan komite sekolah/madrasah, ayat (2) Dewan pendidikan, sebagai lembaga
mandiri dibentuk dan berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan
dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan
prasarana, serta pengawasan pendidikan ditingkat nasional, provinsi dan
kabupaten/ kota yang tidak mempunyai hubungan hierarkis, dan ayat (3) Komite
sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan.
Menyikapi keadaan yang demikian
sulit, apalagi kondisi negara yang kian kritis, solusi yang ditawarkan adalah
manfaatkan seluruh potensi sumber daya sekolah dan masyarkat sekitar, termasuk
memberdayakan dewan pendidikan dan komite sekolah. Mudah-mudahan dengan sistem
anggaran pendidikan yang mengacu pada UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 46 dan 49
permasalahan ini dapat diatasi dengan membangun kebersamaan dan kepercayaan
antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
.
Fakta dan Penyebab Masalah Pendidikan di Indonesia
1. Fakta adanya masalah efisiensi,
efektivitas, dan relevansi pendidikan
Dari ke empat masalah pendidikan
sebagaimana disebutkan di atas, hanya masalah partisipasi yang sekarang
mengecil. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya warga masyarakat akan
pentingnya pendidikan dan semakin banyaknya satuan-satuan pendidikan yang
didirikan untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan. Sedangkan ketiga masalah
pendidikan berikutnya, yaitu masalah efisiensi, efektivitas, dan relevansi
sampai sekarang masih terjadi dan ada kecenderungan bahwa masalah-masalah
pendidikan tersebut semakin besar. Ketiga masalah pendidikan tersebut tidak
saling terpisahkan. Masalah efiseinsi berpeluang menimbulkan masalah
efektivitas, dan selanjutnya berpeluang pula menimbulkan masalah relevansi.
Masalah pendidikan di Indonesia
merupakan masalah yang serius. Bukti untuk hal itu dapat disimak dari peringkat
Human Development Index (HDI) yang dipantau oleh UNDP yang menunjukkan kualitas
pendidikan di Indonesia dari tahun 1996 bearada pada eringkat 102 dari 174
negara, tahun 1999 peringkat 105 dari 174 negara, dan tahun 2000 peringkat 109
dari 174 negara dan dalam prestasi belajar yang dipantau oleh IAEA
(International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di
bidang kemampuan membaca siswa SD, Indonesia berada pada urutan ke-26 dari 27
negara; kemampuan matematika siswa SLTP berada di urutan 34 dari 38 negara;
kemampuan bidang IPA siswa SLTP berada pada urutan ke 32 dari 38 negara (T. Raka
Joni, 2005).
2. Faktor penyebab terjadinya masalah
pendidikan di Indonesia
Masalah efisiensi pendidikan dapat
terjadi karena berbagai faktor, yaitu tenaga kependidikan, peserta didik,
kurikulum, program belajar dan pembelajaran, sarana/prasarana pendidikan, dan
suasana sosial budaya. Demikian pula masalah efektivitas pendidikan juga dapat
terjadi karena faktor tenaga kependidikan, peserta didik, kurukulum, program
belajar dan pembelajaran, serta sarana/prasarana pendidikan.
Masalah relevansi pendidikan
berhubungan dengan : tuntutan satuan pendidikan yang lebih atas yang terus
meningkat dalam upaya mencapai pendidikan yang lebih berkualitas, aspirasi dan
tuntutan masyarakat yang terus meningkat dalam upaya mencapai kehidupan yang
berkualitas, ketersediaan lapangan pekerjaan di masyarakat. Kesenjangan terjadi
jika komponen-komponen sistem pendidikan yang telah disebutkan di atas tidak
mampu memenuhi tuntutan dan aspiranya yang ada.
Kesimpulan
Ternyata masih banyak guru yang
bekerja tidak profesional. Bahkan ada sejumlah sekolah memilih meliburkan anak
didiknya demi mengikuti rapat. Padahal guru dewasa ini telah mendapatkan gaji
yang berlebih dengan berbagai fasilitasnya. sertifikasi, kendati belum semua
guru. Banyak pihak tidak menampik banyaknya guru yang melakukan kelalaian.
Bahkan dalam hal sertifikasi, juga tidak menampik adanya permainan oknum guru
demi mendapatkan status sertifikasi. Keadaan Guru Di Indonesia Juga Amat
Memprihatinkan. Kebanyakan Guru Belum Memiliki Profesionalisme Yang Memadai
Untuk Menjalankan Tugasnya Sebagaimana Disebut Dalam Pasal 39 UU No 20/2003
Yaitu Merencanakan Pembelajaran, Melaksanakan Pembelajaran, Menilai Hasil
Pembelajaran, Melakukan Pembimbingan, Melakukan Pelatihan, Melakukan Penelitian
Dan Melakukan Pengabdian Masyarakat.
Bukan Itu Saja, Sebagian Guru Di Indonesia Bahkan Dinyatakan Tidak Layak
Mengajar. Persentase Guru Menurut Kelayakan Mengajar Dalam Tahun 2002-2003 Di
Berbagai Satuan Pendidikan Sbb: Untuk Sd Yang Layak Mengajar Hanya 21,07%
(Negeri) Dan 28,94% (Swasta), Untuk Smp 54,12% (Negeri) Dan 60,99% (Swasta),
Untuk Sma 65,29% (Negeri) Dan 64,73% (Swasta), Serta Untuk Smk Yang Layak
Mengajar 55,49% (Negeri) Dan 58,26% (Swasta).
Dalam hal relevansi pendidikan, usaha mengembangkan kualitas sumber daya
manusia menjadi semakin penting bagi setiap bangsa dalam menghadapi era
persaingan global. Tanpa sumber daya manusia yang berkualitas, suatu bangsa
pasti akan tertinggal dari bangsa lain dalam percaturan dan persaingan
kehidupan dunia internasional yang semakin kompetitif. Pengembangan sumber daya
manusia Indonesia yang berkualitas menjadi tanggung jawab pendidikan nasional,
terutama dalam mempersiapkan peserta didik untuk menjadi subjek yang memiliki
peran penting dalam menampilkan dirinya sebagai manusia yang tangguh, kreatif,
mandiri, dan profesional pada bidangnya (Mulyasa, 2002:3).
Berkenaan dengan upaya pengembangan sumber daya
manusia Indonesia, Depdiknas sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam
bidang pendidikan nasional telah mengembangkan visi insan Indonesia
yang cerdas dan kreatif dan misi mewujudkan pendidikan yang
mampu membangun insan Indonesia cerdas dan kompetitif dengan adil, bermutu, dan
relevan untuk kebutuhan masyarakat global (www. ktsp.diknas.co.id/ktsp
sd/ppt3). Visi dan misi tersebut selanjutnya dijadikan kerangka acuan dalam
melakukan pembaharuan sistem pendidikan nasional.
Lalu dalam anggaran pendidikan juga Indonesia dinilai masih rendah “Di dalam UU
Sisdiknas memang dijelaskan minimal dana pendidikan 20 persen. Nah, pemerintah
menafsirkannya 20 persen saja tanpa menghitung berapa besaran kebutuhan
riilnya. Akhirnya, dana yang digelontorkan oleh pemerintah tidak tepat dan
tidak sesuai kebutuhan,” ungkap Rohmani ketika ditemui di Gedung DPR RI,
Jakarta, Kamis (1/12). Seperti diketahui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dalam Hari Guru Nasional (HGN), Rabu (30/11) sempat menyebut akan
menaikkan anggaran pendidikan pada 2012 sejumlah Rp286,6 triliun dari
sebelumnya hanya Rp Rp266,9 triliun. Anggaran itu akan digunakan untuk BOS yang
harus menjangkau 31,3 juta siswa SD dan 13,4 juta siswa SMP, rehabilitasi
sekolah, sertifikasi guru dan beasiswa.
Kemudian dalam pembahasan selanjutnya yaitu Tawuran antar
pelajar maupun tawuran antar remaja semakin menjadi semenjak terciptanya
geng-geng. Perilaku anarki selalu dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat.
Mereka itu sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa
mengganggu ketenangan masyarakat. Sebaliknya mereka merasa bangga jika
masyarakat itu takut dengan geng/kelompoknya. Seorang pelajar seharusnya tidak
melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti itu.
Sebenarnya jika
kita mau melihat lebih dalam lagi, salah satu akar permasalahannya adalah
tingkat kestressan siswa yang tinggi dan pemahaman agama yang masih rendah.
Sebagaimana kita tahu bahwa materi pendidikan sekolah di Indonesia itu cukup
berat. Akhirnya stress yang memuncak itu mereka tumpahkan dalam bentuk yang
tidak terkendali yaitu tawuran.
Saran
Pendidikan di Indonesia haruslah
segera di benahi janganlah di biarkan secara terus menerus dalam keadaan
terpuruk itulah tugas penting dan wajib yang harus dilakukan oleh pemerintah kita.
Pemerintah kita banyak melakukan money politik demi keuntungan pribadi atau
untuk keluarganya sendiri. Pemerintah kita sudah tidak memperhatikan lagi
masalah-masalah kedaulatan yang ada di Indonesia ini, menelantarkan rakyat dan
membiarkan rakyatnya terbunuh dalam kemiskinan. Sudah seharusnya pemerintah
ikut andil dalam kegiatan masyarakat, jangan acuh tak acuh dan cuek saja
membiarkan tangisan dan jeritan rakyat. Banyak pengajar dari golongan PNS atau
pemerintahan yang sudah tidak mendidik anak didiknya dengan tidak benar yaitu
dengan memanfa’atkan uang dari orang tua mereka dengan sasaran kepada anak
didik atau siswa-siswanya, sungguh tidak bermartabat jikalau di Indonesia ini
sudah terjadi hal yang biasa dalam pemanfa’atan sumber daya manusia yang salah
dan tidak di tempatkan dalam tempatnya yang benar.
Banyak petinggi-petinggi Negara ataupun pejabat yang sering terlibat kasus
korupsi ini mengakibatkan dampak di pendidikan kita menurun dan tercoreng di
dunia ilmu pendidikan. Dengan beberapa hasil dari UNESCO ataupun menurut survei Political and and Economic
Risk Consultant (PERC) dan
sebagainya, bahwa ternyata di Indonesia ini sangat minim dalam hal pendidikan,
kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya. Jadi dalam hal ini disarankan bahwa Indonesia
harus memiliki pemimpin yang benar-benar beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT,
dan mampu mengamalkan apa yang tertera atau terdapat dalam al-Qur’an dan
hadits, bukan dalam UU pemerintahan, karena hukum buatan manusia tidak dapat
menyelenggarakan kesejahteraan di dunia maupun di akhirat kelak untuk
masyarakatnya, serta dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-harinya
sehingga dengan pemimpin yang berkarakter seperti itu akan bisa mendidik
bawahan dan rakyatnya menuju mardhatillah atau jalan yang diridhoi dan
dirahmati oleh Allah serta dapat mensejahterakan rakyatnya di dunia maupun di
akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar