A
3
Pendidikan
Matematika
Artikel
1
Kedatangan
Bangsa Belanda di Banten
Berbeda dari abad
sebelumnya, pada abad XIV kekuasaan Kesultanan Turki tidak lagi menguasai
sebagian besar Eropa dan Asia Timur. Daerah-daerah itu kini dikuasai
negara-negara Kristen terutama Portugis, sehingga Lisabon kembali menjadi pusat
perdagangan rempah-rempah di Eropa.Raja Spanyol, Phillipos II, yang mengetahui
bahwa kemakmuran Nederland sebagian besar didapat dari perdagangan di Portugal,
memukul Nederland dengan melarang kapal-kapal dagang Belanda mengunjungi
bandar-bandar di daerah kekuasaannya. Akibat tindakan itu, perdagangan
rempah-rempah Belanda terhenti, kemajuan Lisabon terhambat dan harga
rempah-rempah di Eropa menjadi tinggi, karena persediaan berkurang.
Situasi perang antara
Spanyol dan Belanda itu banyak membuat pedagang-pedagang Belanda mengalami
kesukaran, apalagi sering terjadi perampokan kapal-kapal dagangnya oleh pelaut
Inggris dan juga penangkapan oleh armada Spanyol. Hal-hal semacam inilah yang
mendorong pedagang-pedagang Belanda untuk dapat langsung berhubungan dengan
negara-negara di Asia sebagai peng-hasil cengkeh dan lada, tanpa diketahui
patroli Spanyol. Gagasan untuk mencari sumber rempah-rempah di Asia itu
dilaksanakan melalui persiapan dan perencanaan yang cukup baik. Ahli-ahli ilmu
bumi seperti Pancius, seorang pendeta di Amsterdam dan Mercator di Nederland
Selatan diserahi menyusun peta dunia dan dimintai pandangan-pandangannya.
Pedagang-pedagang Amsterdam
memper-siapkan empat buah kapal untuk mencari jalan ke Indonesia melalui
Tanjung Harapan. Pada tangga 2 April 1595 kapal-kapal tersebut bertolak dari
pangkalan Tessel, Belanda Utara, di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan
Pieter de Keyser. Cornelis de Houtman mengepalai urusan perdagangan, dan Pieter
de Keyser mengepalai urusan navigasi. Karena adanya dua pimpinan dalam satu
ekspedisi pertama ini, maka sering terjadi keributan yang berasal dari
perbedaan pendapat di antara keduanya. Hal demikian akhirnya menimbulkan
perkelahian di antara anak buah kapal, sehingga sebuah kapal hancur dan
sebagian penumpangnya tewas. Namun demikian, ekspedisi ini akhirnya membuahkan
hasil, yakni dengan keberhasilan mereka mendarat di pelabuhan Banten pada
tanggal 23 Juni 1596. Kedatangan kapal dagang Belanda itu disambut ramah oleh
penduduk negeri dan seperti biasanya apabila ada kapal asing merapat, banyak
penduduk pribumi yang naik ke kapal untuk menawarkan makanan ataupun dagangan
lainnya. Hal ini disalah artikan oleh awak kapal, sehingga mereka bertindak
kasar dan angkuh. Walau pun demikian, penduduk negri yang terkenal ramah itu
masih menawarkan lada yang memang mereka butuhkan.
Bertepatan dengan
kedatangan kapal dagang Belanda itu, Banten sedang bersiap-siap untuk
mengadakan penyerangan ke Palembang. Oleh karenanya Banten minta orang Belanda
itu meminjamkan kapalnya guna pengangkutan prajurit dengan sewa yang memadai.
Permintaan itu ditolak dengan alasan mereka datang ke Banten hanya untuk
berdagang dan setelah selesai akan cepat kembali pulang takut ada kapal
Portugis yang datang. Tapi sampai pasukan Banten kembali dari Palembang, mereka
masih tetap belum pergi, karena menunggu panen lada yang tidak lama lagi; waktu
panen lada harga akan jauh lebih murah. Alasan demikian membuat Mangkubumi
Jayanegara marah.
Melihat kelakuan orang Belanda ini, rakyat Banten —
yang baru saja kehilangan sultannya — sangat marah. Beberapa tentara Banten
menyerbu ke kapal Belanda dan menangkap Houtman beserta delapan anak kapal.
Dengan tebusan 45.000 gulden sebagai ganti kerugian, barulah de Houtman
dilepaskan dan diusir dari Banten (2 Oktober 1596).
Pada tanggal 1 Mei 1598
rombongan baru pedagang Belanda berangkat dari Nederland menuju Indonesia
dengan delapan buah kapal yang di pimpin oleh Jacob van Neck dibantu oleh van
Waerwijk dan van Heemskerck. Pada tanggal 28 Nopember 1598 rombongan kedua ini
tiba di Banten. Mereka diterima baik oleh rakyat Banten karena tingkah lakunya
berbeda dengan pendahulunya. Pengalaman pertama yang merugikan itu rupanya
dijadikan pelajaran. Mereka pandai membawa diri dan sanggup menahan hati bila
berhadapan dengan Mangkubumi, bahkan permohonan untuk menghadap Sultan pun
dikabulkan. Dengan membawa hadiah sebuah piala berkaki emas sebagai tanda
persahabatan, van Neck menghadap kepada Sultan Abdul Mafakhir.
Mangkubumi Jayanagara membujuk van Neck untuk
membantu tentara Banten dalam penyerangan ke Palembang — sebagai pembalasan
atas kematian Sultan Muhammad — dengan imbalan lada sebanyak dua kapal penuh.
Semula van Neck menyetujui usul Mangkubumi ini, tapi karena van Neck minta
dibayar di muka satu kapal dan sisanya sesudahnya, sedangkan Mangkubumi
menghendaki pembayaran sekaligus setelah penyerangan selesai, maka penyerangan
ke Palembang tidak diteruskan.
Artikel
2
Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang
pernah berdiri di Tatar Pasundan, Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar
tahun 1526, ketika kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak memperluas
pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa
kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta
kawasan perdagangan sebagai antisipasi terealisasinya perjanjian antara
kerajaan Sunda dan Portugis tahun 1522 m. Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung
Jati[4] berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut,
Maulana Hasanuddin mengembangkan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan
(dibangun 1522 m) menjadi kawasan kota pesisir yang kemudian hari menjadi pusat
pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad
Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang
diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan
pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global
memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan
persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya.
Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya
Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada
masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja
bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
Syiar
Islam ke Banten dan pendirian kesultanan Banten
Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang
sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut
sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti
jihad (perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun
juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati
masyarakat Wahanten dan pucuk umum [6](penguasa) Wahanten Pasisir. Pada masa
itu di wilayah Wahanten terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari
prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi pucuk umum (penguasa) untuk
wilayah Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum untuk
wilayah Wahanten Girang.[7]
Di wilayah Wahanten
Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung anten (putri dari Sang
Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu
Winaon (lahir pada 1477 m) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin
: nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 m.[8] Sang
Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para
pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya. Syarif Hidayatullah kemudian kembali
ke kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan
Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban yang
menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para
wali.
Latar
belakang penguasaan Banten
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul
Kadir)dengan Ratu Ayu (putri Sunan Gunung Jati) terjadi 1511. Sebagai Senapati
Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara
berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan Demak pada 1518.
Persekutuan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak ini sangat mencemaskan Jaya
dewata (Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa
menghubungi Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu
baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai.[9]
Pada tahun 1513 m, Tome
Pires pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah banyak dijumpai
orang Islam di pelabuhan Banten[10]. Syarif Hidayatullah mengajak putranya
Maulana Hasanuddin untuk berangkat ke Mekah[11], sekembalinya dari Mekah Syarif
Hidayatullah dan puteranya yaitu Maulana Hasanuddin kemudian melakukan dakwah
Islam dengan sopan, ramah serta suka membantu masyarakat sehingga secara
sukarela sebagian dari mereka memeluk dan taat menjalankan agama Islam, dari
aktifitas dakwah ini di wilayah Banten, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama
Syekh Nurullah (Syekh yang membawa cahaya Allah swt)[12], aktifitas dakwah
kemudian dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin hingga ke pedalaman Wahanten
seperti gunung Pulosari di kabupaten Pandeglang dimana ia pernah tinggal selama
sekitar 10 tahun untuk berdakwah kepada para ajar (pendeta), gunung Karang,
gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan[13]dengan pola syiar yang
kurang lebih sama seperti yang dilakukan ayahnya.
Penguasaan
Banten
Pada tahun 1522,[18], Maulana Hasanuddin membangun
kompleks istana yang diberi nama keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga
membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta masjid di kawasan
Pacitan.[19]Sementara yang menjadi pucuk umum (penguasa) di Wahanten Pasisir
adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman dari Maulana
Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 m. Arya Surajaya
diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526
m.[20]
Pada tahun 1524 m,
Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten[21] Pada masa ini tidak ada
pernyataan yang menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan
pasukan gabungan Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut
Wahanten Girang. Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan
kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mencapai Wahanten Girang, Ki Jongjo
(seorang kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada Maulana
Hasanuddin[22]
Dalam sumber-sumber
lisan dan tradisional di ceritakan bahwa pucuk umum (penguasa) Banten Girang
yang terusik dengan banyaknya aktifitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil
menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman Wahanten yang
merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang, sehingga pucuk umum Arya
Suranggana meminta Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktifitas dakwahnya
dan menantangnya sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika sabung ayam
dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan
aktifitas dakwahnya. Sabung Ayam pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan
dia berhak melanjutkan aktifitas dakwahnya[23] Arya Suranggana dan masyarakat
yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.
Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai
pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di penghujung abad
ke-17.[24]
Penyatuan
Banten
Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati,
Maulana Hasanuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahan Wahanten Girang ke
pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun kota pesisir[25]
Kompleks istana Surosowan
tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526.[18] Pada tahun yang sama juga Arya
Surajaya pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan
kekuasannya atas wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung Jati, akhirnya
kedua wilayah Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir disatukan menjadi Wahanten
yang kemudian disebut sebagai Banten dengan status sebagai kadipaten dari
kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8
Oktober 1526 m)[26], kemudian Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon
dan pengurusan wilayah Banten diserahkan kepada Maulana Hasanuddin, dari
kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah
Sultan pertama di Banten[27] meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak mentasbihkan
dirinya menjadi penguasa (sultan) di Banten[28]Alasan-alasan demikianlah yang
membuat pakar sejarah seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan
Gunung Jatilah yang menjadi pendiri Banten dan bukannya Maulana Hasanuddin. Menurut
catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh
kesultanan Islam, Banten lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari
berbagai negara.[25]Pada tahun 1552, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi sultan
di wilayah Banten oleh ayahnya Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)[29]
Artikel
3
Banten
sebagai kesultanan
Kesultanan Banten menjadk kesultanan yang mandiri
pada tahun 1552 setelah Maulana Hasanuddin ditasbihkan oleh ayahnya yaitu Sunan
Gunung Jati sebagai Sultan di Banten.[29] Maulana Hasanuddin juga melanjutkan
perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam
penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak
dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar
Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.[30] Maulana Yusuf anak dari
Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[31] melanjutkan ekspansi Banten
ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579.
Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai
Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit
gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam
penaklukkan tersebut.[32] Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad,
ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan"
pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa
ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi
dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan
Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles
I.[1]
Puncak
kejayaan
Kesultanan Banten
merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya.
Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten
sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat,
menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.[33] Perdagangan laut
berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu
orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India,
Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.[34] Masa Sultan Ageng Tirtayasa
(bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten.[35] Di bawah dia,
Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga
telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.[31] Dalam
mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana
atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun
1661.[36] Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan
VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju
Banten.[31]
Perang
saudara
Sekitar tahun 1680
muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan
pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini
dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan
dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan.
Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul
Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London
tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.[1] Dalam
perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan
yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga
dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain
Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman
Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di
Batavia. Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan
Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5
Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan
Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel
menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683
mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.[37] Sementara setelah terdesak akhirnya
Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh
oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan
membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang
dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka,
puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan
berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan
Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.[38]
Penurunan
Bantuan dan dukungan
VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di
antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti
tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral
kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan
dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak
monopoli perdagangan lada di Lampung.[39] Selain itu berdasarkan perjanjian
tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang
tersebut kepada VOC.[40] Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai
mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para
Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia Belanda
di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji
namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya
Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan
kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten. Perang
saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan
masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten[41] maupun gejolak
ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten.
Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul
Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang
dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta
bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752
Banten telah menjadi vassal dari VOC.[36]
Penghapusan
kesultanan
Keris Naga Sasra yang
digunakan oleh Pangeran Kornel (Pangeran Kusumahdinata IX) saat bersalaman
menggunakan tangan kiri (pertanda adanya perlawanan terhadap kebijakan Belanda
dalam pembangunan Jalan Raya Pos dengan Gubernur Jenderal Herman Willem
Daendels pada peristiwa Cadas Pangeran
Reruntuhan Kraton Sultan pada tahun 1859 (gambar
oleh C. Buddingh dari Geschiedenis van Nederlandsch Indiƫ atau "Sejarah
Hindia Belanda")
Reruntuhan Kraton Kaibon, bekas istana kediaman Ibu
Suri Sultan Banten, pada tahun 1933
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur
Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos
untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris.[42] Daendels
memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan
menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan
dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya
Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana
Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan)
dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad
Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22
November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah
Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.[43]. Kesultanan
Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris.[44] Pada
tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan
dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan
pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
Agama
Lukisan
litograf Masjid Agung Banten pada kurun 1882-1889.
Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat
Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha,
seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda. Dalam Babad Banten menceritakan
bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran
agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya.
Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di Banten, termasuk
ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk
pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.
Islam menjadi pilar
pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai
kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan para ulama memiliki pengaruh yang besar
dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga
berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian
yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan
Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus. Kadi
memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain
bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga
dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.[45] . Toleransi umat beragama di
Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh muslim, namun komunitas
tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar
tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan
Banten.
Kependudukan
Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah
penduduk yang banyak serta multi-etnis. Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu.
Sementara kelompok etnis nusantara lain dengan jumlah signifikan antara lain
Makasar, Bugis dan Bali. Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun
1672, di Banten diperkirakan terdapat antara 100 000 sampai 200 000 orang
lelaki yang siap untuk berperang, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten
dapat direkrut sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari
sumber yang paling dapat diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan
dari sensus yang dilakukan VOC pada tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota
Banten yang mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah sekita 55 000
orang. Jika keseluruhan penduduk dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka,
diperkirakan berjumlah sekitar 150 000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak,
dan lansia.[46] Sekitar tahun 1676 ribuan masyarakat Cina mencari suaka dan bekerja
di Banten. Gelombang migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian serta
pada kawasan Cina Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman
sekitar pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang
signifikan dibandingkan masyarakat India dan Arab. Sementara di Banten beberapa
kelompok masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan
Portugal juga telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.
Bendera Kesultanan Banten, versi pelat Jepang tahun
1876.
Setelah Banten muncul
sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar Sultan, sementara
dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran
Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan
Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar
yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada masyarakat
Banten terdapat kelompok bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu Bagus),
ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa
adalah terdiri atas kaum ulama, pamong praja, serta kaum jawara. Pusat
pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci
Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan
Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara
disebelah utara dari istana dibangun Masjid Agung Banten dengan menara
berbentuk mercusuar yang kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai menara
pengawas untuk melihat kedatangan kapal di Banten.
Berdasarkan Sejarah
Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung Banten dan Ci
Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun
terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk
menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara keseluruhan rancangan kota
Banten berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh konsep Hindu-Budha atau
representasi yang dikenal dengan nama mandala.[36] Selain itu pada kawasan kota
terdapat beberapa kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan
(Persia) dan Kampung Pecinan. Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas
kapal-kapal yang singah ke Banten, pemungutan cukai ini dilakukan oleh
Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan Pabean. Salah seorang
syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar