2.1 Dasar Hukum Pendidikan Karakter
Dasar hukum dalam pembinaan
pendidikan karakter antara lain:
Pancasila
Sebagai
dasar negara mengandung nilai-nilai: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan
Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1954
“Tujuan
pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat
dan tanah air”
Undang-undang
RI Nomor 2 Tahun 1989
“Tujuan
pendidikan adalah mencerdasakan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang
Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribandian yang mantap dan mandiri serta rasa
taggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”
Undang-Undang
Dasar 1945 Amandemen.
· Bab
XIII ( Pendidikan dan KebudayaanI) Pasal 31 Ayat 3
“Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang”
· Bab
XIII ( Pendidikan dan KebudayaanI) Pasal 31 Ayat 5
“Pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
· Bab
I (Ketentuan Umum) Pasal 1 Ayat 1
“Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”
· Bab
I (Ketentuan Umum) Pasal 1 Ayat 2
“Pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional
Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”
· Bab
II (Dasar, Fungsi, dan Tujuan) Pasal 1
“Pendidikan nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
· Bab
II (Dasar, Fungsi, dan Tujuan) Pasal 2
“Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”
Undang-undang RI Nomor 17 Tahun 2007
tentang RPJPN 2005-2025)
“Tangguh,
kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong,
patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi ipteks berdasarkan pancasila
dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada tuhan yang maha esa.”
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
Bab II (lingkup, Fungsi, dan Tujuan)
Pasal 4
“Standar
Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat”
Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan.
Bab III (Penyelenggaraan Pendidikan
Formal)
Bagian Pertama (Pendidikan Anak Usia
Dini)
Pasal 61 Ayat 2
Pendidikan anak usia dini bertujuan:
a. membangun
landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia berkepribadian luhur,
sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab; dan
b. mengembangkan
potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, kinestetis, dan social
peserta didik pada masa emas pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang
edukatif dan menyenangkan.
Tujuan Pendidikan Tingkat
Selanjutnya
Pasal 67 Ayat 3 : Pasal 77 : Pasal
84 Ayat 2
Pendidikan dasar bertujuan membangun
landasan bagi berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia
yang:
a. beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian
luhur;
b. berilmu,
cakap, kritis, kreatif, dan inovatif;
c. sehat,
mandiri, dan percaya diri; dan
toleran, peka sosial, demokratis,
dan bertanggung jawab.
Kepres RI
Nomor 145
“Tujuan
pendidikan supaya : melahirkan negara sosialis Indonesia yang susila, yang
bertanggungjawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan
makmur baik spiritual maupun materil dan berjiwa pancasila”
Ketetapan
MPRS No.XXVII/MPR/1966
“Tujuan
pendidikan yaitu membentuk manusia Pancasila Sejati berdasarkan
ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 dan isi Undang-undang Dasar 1945”
Ketetapan
MPR No.IV/MPR/1973
“Pendidikan
pada hakekatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Sesuai
dengan hakekat pembnagunan yang menekankan kepada “Pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia”
Ketetapan
MPR No.II/MPR/1988
“memformulasikan
tujuan pendidikan sebagai berikut : untuk meningkatkan kualitas manusia
Indonsia yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa,
berbudi pekerti luhur, berkepribadian, bekerja keras, tangguh, bertanggung
jawab, mandiri, cerdas, dan terampil serta sehat jasmani dan rohani, juga harus
mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada tanah air, mempertebal
semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial”
Ketetapan MPR No.11/MPR/1983
“Tujuan
pendidikan nasional adalah meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian,
mempertebal semangat kebangsaan dan cita tanah air, agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan yang dapat membnagun dirinya sendiri serta
bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”
Permendiknas
No 39 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kesiswaan.
Bab I (Tujuan, Sasaran, dan Ruang
Lingkup) Pasal 1
Tujuan pembinaan kesiswaan :
a. Mengembangkan
potensi siswa secara optimal dan terpadu yang meliputi bakat, minat, dan
kreativitas;
b. Memantapkan
kepribadian siswa untuk mewujudkan ketahanan sekolah sebagai lingkungan
pendidikan sehingga terhindar dari usaha dan pengaruh negatif dan bertentangan
dengan tujuan pendidikan;
c. Mengaktualisasikan
potensi siswa dalam pencapaian prestasi unggulan sesuai bakat dan minat;
d. Menyiapkan
siswa agar menjadi warga masyarakat yang berakhlak mulia, demokratis,
menghormati hak-hak asasi manusia dalam rangka mewujudkan masyarakat madani (civil
society).
Permendiknas
Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi .
Bab I (Pendahuluan) Pafagraf 1
“Pendidikan
nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah
menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.”
Bab I (Pendahuluan) Paragraf 2
“Pendidikan
nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan
mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan
pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu
pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya
melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing
dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan
untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis
potensi sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan
dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan
pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.”
Permendiknas
Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan.
a. Pendidikan
Dasar, yang meliputi SD/MI/SDLB/Paket A dan SMP/MTs./SMPLB/Paket B bertujuan:
Meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
b. Pendidikan
Menengah yang terdiri atas SMA/MA/SMALB/Paket C bertujuan: Meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut .
c. Pendidikan
Menengah Kejuruan yang terdiri atas SMK/MAK bertujuan: Meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri
dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya
2.2 Undang Undang RI Nomor 20 Tahun
2003
Dalam UU No 20 Tahun 2003
Bab I Pasal 1 Ayat ke 2
“Pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional
Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.”
Pancasila
yang merupakan falsafah bangsa. Namun, fenomena keseharian kita menunjukkan
bahwa perilaku masyarakat belum sejalan dengan karakter bangsa yang dijiwai
oleh falsafah Pancasila. Kondisi ini menyebabkan munculnya keinginan pemerintah
dan berbagai kalangan masyarakat untuk merevitalisasi peran Pancasila dalam
membangun karakter bangsa.
Tujuan
dari pembangunan karakter adalah untuk mengembangkan karakter bangsa agar mampu
mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila. Pembangunan karakter ini berfungsi
untuk mengembangkan potensi dasar agar berbaik hati, berpikiran baik, dan
berperilaku baik; memperbaiki perilaku yang kurang baik dan menguatkan perilaku
yang sudah baik; serta menyaring budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai
luhur Pancasila.
Dalam UU No 20 Tahun 2003
Bab II Pasal 3
“Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”
Tujuan
pendidikan yang mencakup tiga dimensi. Yaitu dimensi ketuhanan, pribadi dan
sosial. Artinya, pendidikan bukan diarahkan pada pendidikan yang sekuler, bukan
pada pendidikan individualistik, dan bukan pula pada pendidikan sosialistik.
Tapi pendidikan yang diarahkan di Indonesia itu adalah pendidikan mencari
keseimbangan antara ketuhanan, individu dan sosial. Dimesi ketuhanan yang
menjadi tujuan pendidikan ini tak menjadikan pendidikan menjadi pendidikan yang
sekuler. Karena dalam pendidikan sekuler, agama hanya akan dijadikan sebagai
salah satu mata pelajaran tanpa menjadikannya dasar dari ilmu yang dipelajari.
Namun
terkadang kita bangga melihat corak dan karakteristik pendidikan Barat yang
unik dan maju. Tetapi tidak bisa mengesampingkan kebobrokan moral dan etika
yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial manusia yang agung. Dan juga
menghilangkan fitrah asal manusia itu sendiri. Seperti teori Darwin. Jadi pendidikan
di Indonesia tidak memisahkan antara agama dan pendidikan, namun keduanya
disandingkan untuk mencapai generasi yang berotak Jerman dan berhati Mekkah.
Sehingga generasi yang terbentuk itu tidak menjunjung tinggi nilai-nilai
materialistik saja. Dengan menjadikan agama sebagai landasasan, generasi
Indonesia menjadi generasi mempunyai karakterisitik sendiri sebagaimana yang
sering disebut dalam pendidikan karakter.
Orang
sering terjebak, pendidikan karakter itu diterjemahkan hanya sebagai sopan
santun. Padahal lebih dari itu. Yang mau dibangun adalah karakter-budaya yang
menumbuhkan kepenasaranan intelektual (intellectual curiosity) sebagai
modal untuk mengembangkan kreativitas dan daya inovatif yang dijiwai dengan
nilai kejujuran dan dibingkai dengan kesopanan dan kesantunan.
Dalam UU No 20 Tahun 2003 di
sebutkan bahwa
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Berdasarkan
pasal diatas ditemukan 3 (tiga) pokok pikiran utama yang terkandung
di dalamnya, yaitu: (1) usaha sadar dan terencana; (2) mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi
dirinya; dan (3) memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.Di bawah ini akan dipaparkan secara
singkat ketiga pokok pikiran tersebut.
d Usaha sadar dan terencana.
Pendidikan sebagai usaha sadar dan
terencana menunjukkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang disengaja dan
dipikirkan secara matang (proses kerja intelektual). Oleh karena itu, di
setiap level manapun, kegiatan pendidikan harus disadari dan
direncanakan, baik dalam tataran nasional (makroskopik), regional/provinsi
dan kabupaten kota (messoskopik), institusional/sekolah (mikroskopik)
maupun operasional (proses pembelajaran oleh guru).
d Mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik aktif mengembangkan potensi dirinya
Pada pokok pikiran yang kedua adanya pengerucutan istilah pendidikan menjadi
pembelajaran. Jika dilihat secara sepintas mungkin seolah-olah pendidikan
lebih dimaknai dalam setting pendidikan formal semata (persekolahan).
Terlepas dari benar-tidaknya pengerucutan makna ini, pada pokok pikiran
kedua ini, menangkap pesan bahwa pendidikan yang dikehendaki adalah
pendidikan yang bercorak pengembangan (developmental) dan
humanis, yaitu berusaha mengembangkan segenap potensi didik, bukan bercorak
pembentukan yang bergaya behavioristik. Selain itu, saya juga
melihat ada dua kegiatan (operasi) utama dalam pendidikan: (a) mewujudkan suasana belajar, dan (b) mewujudkan proses pembelajaran.
d Memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pokok pikiran yang ketiga ini,
selain merupakan bagian dari definisi pendidikan sekaligus menggambarkan
pula tujuan pendidikan nasional kita, yang menurut hemat saya
sudah demikian lengkap. Di sana tertera tujuan yang berdimensi ke-Tuhan-an, pribadi, dan sosial. Artinya,
pendidikan yang dikehendaki bukanlah pendidikan sekuler, bukan pendidikan
individualistik, dan bukan pula pendidikan sosialistik, tetapi pendidikan yang
mencari keseimbangan diantara ketiga dimensi tersebut.
Jika belakangan ini gencar
disosialisasikan pendidikan karakter, dengan melihat pokok pikiran yang
ketiga dari definisi pendidikan ini maka sesungguhnya
pendidikan karakter sudah implisit dalam pendidikan, jadi bukanlah sesuatu yang
baru.
Jadi
bukan sekuler, bukan individualistik dan bukan sosialistik, namun penyeimbangan
dari ketiganya. Pendidikan dalam UU no 20 tahun 2003 itu adalah mengembangkan
potensi peserta didik yang menjadikan agama sebagai landasan utama hidupnya,
tidak mementingkan kepentingan sendiri dan memiliki keterampilan yang berguna
untuk dirinya dan orang-orang sekitarnya. Dan tidak hanya sekedar
menggambarkan apa pendidikan itu, tetapi memiliki makna dan implikasi
yang luas tentang siapa sesunguhnya pendidik itu, siapa
peserta didik (siswa) itu, bagaimana seharusnya mendidik, dan apa yang
ingin dicapai oleh pendidikan.
Upaya
Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia
Untuk meningkatkan mutu pendidikan
kita perlu melihat dari banyak sisi. Telah banyak pakar pendidikan mengemukakan
pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu
pendidikan di lndonesia. Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam
diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.
Dalam persfektif makro banyak
faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan, diantaranya faktor kurikulum,
kebijakan pendidikan, fasilitas pendidikan, aplikasi teknologi informasi dan
komunikasi dalam dunia pendidikan, khususnya dalam kegiatan proses belajar mengajar,
aplikasi metode, strategi dan pendekatan pendidikan yang mutakhir dan modern,
metode evaluasi pendidikan yang tepat, biaya pendidikan yang memadai,
manajement pendidikan yang dilaksanakan secara profesional, sumberdaya manusia
para pelaku pendidikan yang terlatih, berpengetahuan, berpengalaman dan
profesional (Hadis dan Nurhayati, 2010:3).
Masukan ilmiah yang disampaikan
para ahli dari negara-negara yang berhasil menerapkannya, seperti Amerika
Serikat, Australia, Kanada, Selandia Baru dan Singapura selalu memunculkan
konsep yang tidak selalu bisa diadopsi dan diadaptasi. Karena berbagai macam
latar yang berbeda. Situasi, kondisi, latar budaya dan pola pikir bangsa kita
tentunya tidak homogen dengan negara-negara yang diteladani. Malahan, konsep
yang di impor itu terkesan dijadikan sebagai “proyek” yang bertendensi pada
kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Artinya, proyek bukan sebagai alat
melainkan sebagai tujuan.
Beberapa penerapan pola peningkatan mutu di Indonesia telah banyak
dilakukan, namun masih belum dapat secara langsung memberikan efek perbaikan
mutu. Di antaranya adalah usaha peningkatan mutu dengan perubahan kurikulum dan
proyek peningkatan lain; Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS), Proyek Perpustakaan, Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu
(BOMM), Proyek Bantuan lmbal Swadaya (BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek
Peningkatan Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasioanal
Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM). Dengan memperhatikan sejumlah
proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan
anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam persfektif mikro atau
tinjauan secara sempit dan khusus, faktor dominan yang berpengaruh dan
berkontribusi besar terhadap mutu pendidikan ialah guru yang profesional dan
guru yang sejahtera (Hadis dan Nurhayati, 2010:3). Oleh karena itu, guru
sebagai suatu profesi harus profesional dalam melaksanakan berbagai tugas
pendidikan dan pengajaran, pembimbingan dan pelatihan yang diamanahkan
kepadanya.
Dalam proses pendidikan guru
memiliki peranan sangat penting dan strategis dalam membimbing pesserta didik
kearah kedewasaan, kematangan dan kemandirian, sehingga guru sering dikatakan
ujung tombak pendidikan. Dalam melaksanakan tugasnya seorang guru tidak hanya
menguasai bahan ajar dan memiliki kemampuan teknis edukatif tetapi memiliki
juga kepribadian dan integritas pribadi yang dapat diandalkan sehingga menjadi
sosok panutan bagi peserta didik, keluarga maupun masyarakat (Sagala, 2007:99).
Berikut ini adalah elemen dasar
bagaimana kita dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia (Bull, 2010):
a. Insan Pendidikan Patut
Mendapatkan Penghargaan Karena itu Berikanlah Penghargaan
“Manajemen Sumber Daya Manusia”
mengatakan, penghargaan diberikan untuk menarik dan mempertahankan SDM karena
diperlukan untuk mencapai saran-saran organisasi. Staf (guru) akan termotivasi
jika diberikan penghargaan ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan komisi)
maupun penghargaan instrinsik (pujian, tantangan, pengakuan, tanggung jawab,
kesempatan dan pengembangan karir). Manusia mempunyai sejumlah kebutuhan yang
memiliki lima tingkatan (hierarchy of needs) yakni, mulai dari kebutuhan
fisiologis (pangan, sandang dan papan), kebutuhan rasa aman ( terhindar dari
rasa takut akan gangguan keamanan), kebutuhan sosial (bermasyarakat), kebutuhan
yang mencerminkan harga diri, dan kebutuhan mengaktualisasikan diri di tengah
masyarakat.
Pendidik dan pengajar sebagai
manusia yang diharapkan sebagai ujung tombak meningkatkan mutu berhasrat
mengangkat harkat dan martabatnya. Jasanya yang besar dalam dunia pendidikan
pantas untuk mendapatkan penghargaan intrinsik dan ekstrinsik agar tidak
termarjinalkan dalam kehidupan masyarakat.
b. Meningkatkan Profesionalisme
Guru dan Pendidik
Kurikulum dan panduan manajemen
sekolah sebaik apapun tidak akan berarti jika tidak ditangani oleh guru
profesional. Karena itu tuntutan terhadap profesinalisme guru yang sering
dilontarkan masyarakat dunia usaha/industri, legislatif, dan pemerintah adalah
hal yang wajar untuk disikapi secara arif dan bijaksana.
Konsep tentang guru profesional ini
selalu dikaitkan dengan pengetahuan tentang wawasan dan kebijakan pendidikan,
teori belajar dan pembelajaran, penelitian pendidikan (tindakan kelas), evaluasi
pembelajaran, kepemimpinan pendidikan, manajemen pengelolaan kelas/sekolah,
serta tekhnologi informasi dan komunikasi.
Fenomena menunjukkan bahwa
kualitas profesionalisme guru kita masih rendah. Faktor-faktor internal seperti
penghasilan guru yang belum mampu memenuhi kebutuhan fisiologis dan profesi
masih dianggap sebagai faktor determinan. Akibatnya, upaya untuk menambah
pengetahuan dan wawasan menjadi terhambat karena ketidakmampuan guru secara
financial dalam pengembangan SDM melalui peningkatan jenjang pendidikan.
Hal itu juga telah disadari
pemerintah sehingga program pelatihan mutlak diperlukan karena terbatasnya
anggaran untuk meningkatkan pendidikan guru. Program pelatihan ini dimaksudkan
untuk menghasilkan guru sebagai tenaga yang terampil (skill labour) atau dengan
istilah lain guru yang memiliki kompetensi.
c. Kurangi dan Berantas Korupsi
Menurut laporan BPK tahun 2003
lalu, Depdiknas merupakan lembaga pemerintah terkorup kedua setelah Departemen
Agama. Kemudian Laporan ICW menyebutkan bahwa korupsi dalam dunia pendidikan
dilakukan secara bersama-sama (Amin Rais menyebutnya korupsi berjamaah) dalam
berbagai jenjang mulai tingkat sekolah, dinas, sampai departemen. Pelakunya
mulai dari guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan seterusnya masuk dalam
jaringan korupsi. Sekolah yang diharapkan menjadi benteng pertahanan yang
menjunjung nilai-nilai kejujuran justru mempertotonkan praktik korupsi kepada
peserta didik.
Korupsi itu berhubungan dengan
dana yang berasal dari pemerintah dan dana yang langsung ditarik dari
masyarakat. Jika selama ini anggaran pendidikan yang sangat minim dikeluhkan,
ternyata dana yang kecil itupun tak luput dari korupsi. Hal ini tidak terlepas
dar kekaburan sistem anggaran sekolah. Kekaburan dalam sistem anggaran (RAPBS)
itu memungkinkan kepala sekolah mempraktikkan Pembiayaan Sistem Ganda (PSG).
Misalnya dana operasional pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana
pemerintah dibebankan lagi kepada masyarakat.
Semakin terpuruknya peringkat SDM
Indonesia pada tahun 2004, tak perlu hanya kita sesali, melainkan menjadikannya
sebagai motivasi untuk bangkit dari keterpurukan. Jika kondisi itu mau diubah
mulailah dari menerapkan konsep yang berpijak pada akar masalah.
d. Berikan Sarana dan Prasarana
yang Layak
Dengan diberlakukannya kurikulum
2004 (KBK), kini guru lebih dituntut untuk mengkontekstualkan pembelajarannya
dengan dunia nyata, atau minimal siswa mendapat gambaran miniatur tentang dunia
nyata. Harapan itu tidak mungkin tercapai tanpa bantuan alat-alat pembelajaran
(sarana dan prasarana pendidikan).
Menurut Kepmendikbud No.
053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), sekolah harus memiliki
persyaratan minimal untuk menyelenggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan
cukup seperti, luas lahan, perabot lengkap, peralatan/laboratorium/media,
infrastruktur, sarana olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu
dirasakan sangat tepat karena dengan keputusan ini diharapkan penyelenggaraan
pendidikan di sekolah tidak “kebablasan cepat” atau “keterlaluan tertinggal” di
bawah persyaratan minimal sehingga kualitas pendidikan menjadi semakin
terpuruk.
Selanjutnya, UU Sisdiknas No.
20/2003 pasal 45 ayat (1) berbunyi, setiap satuan pendidikan menyediakan sarana
dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan
kejiwaan peserta didik. Jika kita lihat kenyataan di lapangan bahwa hanya
sekolah-sekolah tertentu di beberapa kota di Indonesia saja yang memenuhi
persyaratan SPM, umumnya sekolah negeri dan swasta favorit. Berdasarkan fakta
ini, keterbatasan sarana dan prasarana pada sekolah-sekolah tertentu,
pengadaannya selalu dibebankan kepada masyarakat. Alasannya pun telah
dilegalkan berdasarkan Kepmendiknas No. 044/U/2002 dan UU Sisdiknas No. 20/2003
pasal 56 ayat (1). Dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi
perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan melalui dewan
pendidikan dan komite sekolah/madrasah, ayat (2) Dewan pendidikan, sebagai
lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan
pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana
dan prasarana, serta pengawasan pendidikan ditingkat nasional, provinsi dan
kabupaten/ kota yang tidak mempunyai hubungan hierarkis, dan ayat (3) Komite
sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan.
Menyikapi keadaan yang demikian
sulit, apalagi kondisi negara yang kian kritis, solusi yang ditawarkan adalah
manfaatkan seluruh potensi sumber daya sekolah dan masyarkat sekitar, termasuk
memberdayakan dewan pendidikan dan komite sekolah. Mudah-mudahan dengan sistem
anggaran pendidikan yang mengacu pada UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 46 dan 49
permasalahan ini dapat diatasi dengan membangun kebersamaan dan kepercayaan
antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
. Fakta dan Penyebab Masalah Pendidikan di Indonesia
1. Fakta adanya masalah efisiensi,
efektivitas, dan relevansi pendidikan
Dari ke empat masalah pendidikan sebagaimana disebutkan
di atas, hanya masalah partisipasi yang sekarang mengecil. Hal ini disebabkan
karena semakin meningkatnya warga masyarakat akan pentingnya pendidikan dan
semakin banyaknya satuan-satuan pendidikan yang didirikan untuk memenuhi
kebutuhan akan pendidikan. Sedangkan ketiga masalah pendidikan berikutnya,
yaitu masalah efisiensi, efektivitas, dan relevansi sampai sekarang masih
terjadi dan ada kecenderungan bahwa masalah-masalah pendidikan tersebut semakin
besar. Ketiga masalah pendidikan tersebut tidak saling terpisahkan. Masalah
efiseinsi berpeluang menimbulkan masalah efektivitas, dan selanjutnya
berpeluang pula menimbulkan masalah relevansi.
Masalah pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang
serius. Bukti untuk hal itu dapat disimak dari peringkat Human Development
Index (HDI) yang dipantau oleh UNDP yang menunjukkan kualitas pendidikan di
Indonesia dari tahun 1996 bearada pada eringkat 102 dari 174 negara, tahun 1999
peringkat 105 dari 174 negara, dan tahun 2000 peringkat 109 dari 174 negara dan
dalam prestasi belajar yang dipantau oleh IAEA (International Association for
the Evaluation of Educational Achievement) di bidang kemampuan membaca siswa
SD, Indonesia berada pada urutan ke-26 dari 27 negara; kemampuan matematika
siswa SLTP berada di urutan 34 dari 38 negara; kemampuan bidang IPA siswa SLTP
berada pada urutan ke 32 dari 38 negara (T. Raka Joni, 2005).
2. Faktor penyebab terjadinya masalah pendidikan di
Indonesia
Masalah efisiensi pendidikan dapat terjadi karena
berbagai faktor, yaitu tenaga kependidikan, peserta didik, kurikulum, program
belajar dan pembelajaran, sarana/prasarana pendidikan, dan suasana sosial
budaya. Demikian pula masalah efektivitas pendidikan juga dapat terjadi karena
faktor tenaga kependidikan, peserta didik, kurukulum, program belajar dan
pembelajaran, serta sarana/prasarana pendidikan.
Masalah relevansi pendidikan berhubungan dengan :
tuntutan satuan pendidikan yang lebih atas yang terus meningkat dalam upaya
mencapai pendidikan yang lebih berkualitas, aspirasi dan tuntutan masyarakat
yang terus meningkat dalam upaya mencapai kehidupan yang berkualitas,
ketersediaan lapangan pekerjaan di masyarakat. Kesenjangan terjadi jika
komponen-komponen sistem pendidikan yang telah disebutkan di atas tidak mampu
memenuhi tuntutan dan aspiranya yang ada.
Kesimpulan
Ternyata masih banyak guru yang bekerja tidak profesional.
Bahkan ada sejumlah sekolah memilih meliburkan anak didiknya demi mengikuti rapat.
Padahal guru dewasa ini telah mendapatkan gaji yang berlebih dengan berbagai
fasilitasnya. sertifikasi, kendati belum semua guru. Banyak pihak tidak
menampik banyaknya guru yang melakukan kelalaian. Bahkan dalam hal sertifikasi,
juga tidak menampik adanya permainan oknum guru demi mendapatkan status
sertifikasi. Keadaan Guru Di Indonesia Juga Amat Memprihatinkan. Kebanyakan
Guru Belum Memiliki Profesionalisme Yang Memadai Untuk Menjalankan Tugasnya
Sebagaimana Disebut Dalam Pasal 39 UU No 20/2003 Yaitu Merencanakan
Pembelajaran, Melaksanakan Pembelajaran, Menilai Hasil Pembelajaran, Melakukan
Pembimbingan, Melakukan Pelatihan, Melakukan Penelitian Dan Melakukan
Pengabdian Masyarakat.
Bukan Itu Saja, Sebagian Guru Di Indonesia Bahkan Dinyatakan Tidak Layak
Mengajar. Persentase Guru Menurut Kelayakan Mengajar Dalam Tahun 2002-2003 Di
Berbagai Satuan Pendidikan Sbb: Untuk Sd Yang Layak Mengajar Hanya 21,07%
(Negeri) Dan 28,94% (Swasta), Untuk Smp 54,12% (Negeri) Dan 60,99% (Swasta),
Untuk Sma 65,29% (Negeri) Dan 64,73% (Swasta), Serta Untuk Smk Yang Layak
Mengajar 55,49% (Negeri) Dan 58,26% (Swasta).
Dalam hal relevansi pendidikan, usaha mengembangkan kualitas sumber daya
manusia menjadi semakin penting bagi setiap bangsa dalam menghadapi era
persaingan global. Tanpa sumber daya manusia yang berkualitas, suatu bangsa
pasti akan tertinggal dari bangsa lain dalam percaturan dan persaingan
kehidupan dunia internasional yang semakin kompetitif. Pengembangan sumber daya
manusia Indonesia yang berkualitas menjadi tanggung jawab pendidikan nasional,
terutama dalam mempersiapkan peserta didik untuk menjadi subjek yang memiliki
peran penting dalam menampilkan dirinya sebagai manusia yang tangguh, kreatif,
mandiri, dan profesional pada bidangnya (Mulyasa, 2002:3).
Berkenaan dengan upaya pengembangan sumber daya
manusia Indonesia, Depdiknas sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam
bidang pendidikan nasional telah mengembangkan visi insan Indonesia
yang cerdas dan kreatif dan misi mewujudkan pendidikan yang
mampu membangun insan Indonesia cerdas dan kompetitif dengan adil, bermutu, dan
relevan untuk kebutuhan masyarakat global (www. ktsp.diknas.co.id/ktsp
sd/ppt3). Visi dan misi tersebut selanjutnya dijadikan kerangka acuan dalam melakukan
pembaharuan sistem pendidikan nasional.
Lalu dalam anggaran pendidikan juga Indonesia dinilai masih rendah “Di dalam UU
Sisdiknas memang dijelaskan minimal dana pendidikan 20 persen. Nah, pemerintah
menafsirkannya 20 persen saja tanpa menghitung berapa besaran kebutuhan
riilnya. Akhirnya, dana yang digelontorkan oleh pemerintah tidak tepat dan
tidak sesuai kebutuhan,” ungkap Rohmani ketika ditemui di Gedung DPR RI,
Jakarta, Kamis (1/12). Seperti diketahui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dalam Hari Guru Nasional (HGN), Rabu (30/11) sempat menyebut akan
menaikkan anggaran pendidikan pada 2012 sejumlah Rp286,6 triliun dari
sebelumnya hanya Rp Rp266,9 triliun. Anggaran itu akan digunakan untuk BOS yang
harus menjangkau 31,3 juta siswa SD dan 13,4 juta siswa SMP, rehabilitasi
sekolah, sertifikasi guru dan beasiswa.
Kemudian dalam pembahasan selanjutnya yaitu Tawuran antar pelajar maupun tawuran
antar remaja semakin menjadi semenjak terciptanya geng-geng. Perilaku anarki
selalu dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat. Mereka itu sudah tidak
merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan
masyarakat. Sebaliknya mereka merasa bangga jika masyarakat itu takut
dengan geng/kelompoknya. Seorang pelajar seharusnya tidak melakukan tindakan
yang tidak terpuji seperti itu.
Sebenarnya jika
kita mau melihat lebih dalam lagi, salah satu akar permasalahannya adalah
tingkat kestressan siswa yang tinggi dan pemahaman agama yang masih rendah.
Sebagaimana kita tahu bahwa materi pendidikan sekolah di Indonesia itu cukup
berat. Akhirnya stress yang memuncak itu mereka tumpahkan dalam bentuk yang
tidak terkendali yaitu tawuran.
h. Saran
Pendidikan di Indonesia haruslah segera di benahi janganlah
di biarkan secara terus menerus dalam keadaan terpuruk itulah tugas penting dan
wajib yang harus dilakukan oleh pemerintah kita. Pemerintah kita banyak
melakukan money politik demi keuntungan pribadi atau untuk keluarganya sendiri.
Pemerintah kita sudah tidak memperhatikan lagi masalah-masalah kedaulatan yang
ada di Indonesia ini, menelantarkan rakyat dan membiarkan rakyatnya terbunuh
dalam kemiskinan. Sudah seharusnya pemerintah ikut andil dalam kegiatan
masyarakat, jangan acuh tak acuh dan cuek saja membiarkan tangisan dan jeritan
rakyat. Banyak pengajar dari golongan PNS atau pemerintahan yang sudah tidak
mendidik anak didiknya dengan tidak benar yaitu dengan memanfa’atkan uang dari
orang tua mereka dengan sasaran kepada anak didik atau siswa-siswanya, sungguh
tidak bermartabat jikalau di Indonesia ini sudah terjadi hal yang biasa dalam
pemanfa’atan sumber daya manusia yang salah dan tidak di tempatkan dalam
tempatnya yang benar.
Banyak petinggi-petinggi Negara ataupun pejabat yang sering terlibat kasus
korupsi ini mengakibatkan dampak di pendidikan kita menurun dan tercoreng di
dunia ilmu pendidikan. Dengan beberapa hasil dari UNESCO ataupun menurut survei Political and and Economic Risk Consultant (PERC) dan sebagainya, bahwa ternyata di Indonesia ini sangat
minim dalam hal pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya. Jadi dalam
hal ini disarankan bahwa Indonesia harus memiliki pemimpin yang benar-benar
beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, dan mampu mengamalkan apa yang tertera
atau terdapat dalam al-Qur’an dan hadits, bukan dalam UU pemerintahan, karena
hukum buatan manusia tidak dapat menyelenggarakan kesejahteraan di dunia maupun
di akhirat kelak untuk masyarakatnya, serta dapat mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-harinya sehingga dengan pemimpin yang berkarakter seperti itu
akan bisa mendidik bawahan dan rakyatnya menuju mardhatillah atau jalan yang
diridhoi dan dirahmati oleh Allah serta dapat mensejahterakan rakyatnya di
dunia maupun di akhirat.
Masalah-masalah
Pendidikan di Indonesia
Upaya untuk mewujudkan
visi dan misi tersebut mengalami kesulitan jika berbagai masalah dalam proses
pendidikan muncul. Masalah dapat diartikan sebagai kesenjangan antara apa yang
diharapkan dengan apa yang terjadi. Jika apa yang terjadi atau yang tercapai
dalam pendidikan tidak seperti yang diharapkan maka masalah pendidikan telah
terjadi.
Masalah-masalah
pendidikan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu: masalah
partisipasi/kesempatan memperoleh pendidikan, masalah efisiensi, masalah
efektivitas, dan masalah relevansi pendidikan (Redja Mudyahardjo, 2001:
496)
a. Masalah partisipasi pendidikan
Masalah partisipasi atau kesempatan memperoleh pendidikan
adalah rasio atau perbandingan antara masukan pendidikan (raw input)
atau jumlah penduduk yang tertampung dalam satuan-satuan pendidikan. Keberadaan
masalah ini dapat diketahui dari individu-individu yang mestinya menjadi
peserta didik pada satuan pendidikan tertentu tetapi kenyataannya tidak
demikian. Misalnya saja di berbagai daerah masih banyak anak-anak yang mestinya
menjadi peserta didik pada satuan pendidikan TK tetapi belum menjadi bagian
dari satuan pendidikan tersebut. Hal demikian tentunya akan menimbulkan masalah
pada saat mereka masuk sekolah dasar. Demikian juga banyaknya individu lulusan
SMA yang tidak melanjutkan pendidikannya pada perguruan tinggi. Untuk bekerja
mereka belum memiliki bekal yang mamadai.
b. Masalah efisiensi pendidikan
Masalah efisiensi pendidikan berkenaan dengan proses
pengubahan atau transformasi masukan produk (raw input) menjadi produk
(output). Salah satu cara menentukan mutu transformasi pendidikan adalah
mengitung besar kecilnya penghamburan pendidikian (educational wastage), dalam
arti mengitung jumlah murid/mahasiswa/peserta didik yangputus sekolah,
meng-ulang atau selesai tidak tepat waktu.
Jika peserta didik sebenarnya memiliki potensi yang
memadai tetapi mereka tidak naik kelas, putus sekolah, tidak lulus berarti ada
masalah dalam efisiensi pendidikan. Masalah efisiensi pendidikan juga terjadi
di perguruan tinggi. Masalah tersebut dapat diketahui dari adanya para
mahasiswa yang sebenarnya potensial tetapi putus kuliah dan gagal menyelesaikan
pendidikannya pada waktu yang tepat.
c. Masalah efektivitas pendidikan
Masalah efektivitas pendidikan berkenaan dengan rasio
antara tujuan pendidian dengan dengan hasil pendidikan (output), artinya sejauh
mana tingkat kesesuaian antara apa yang diharapkan dengan apa yang dihasilkan,
baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Pendidikan merupakan proses yang
bersifat teleologis, yaitu diarahkan pada tujuan tertentu, yaitu berupa
kualifikasi ideal. Jika peserta didik telah menyelesaikan pendidikannya namun
belum menunjukkan kemampuan dan karakteristik sesuai dengan kualifiksi yang
diharapkan berarti adalah masalah efektivitas pendidikan.
d. Masalah relevansi pendidikan
Masalah ini berkenaan dengan rasio antara tamatan yang
dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di
atasnya atau indtitusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif
maupun secara kualitatif.
Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari
satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan
teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi
juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu,
yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap
untuk bekerja
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sudah merupakan pendapat umum bahwa
kemakmuran suatu bangsa berkaitan erat dengan kualitas atau mutu
pendidikan bangsa yang bersangkutan. Bahakan lebih spesifik lagi, bangsa-bangsa
yang berhasil mencapai kemakmuran dan kesejahteraan dewasa ini adalah
bangsa-bangsa yang melaksanakan pembangunan berdasarkan strategi pengembangan
sumber daya insane. Artinya, melaksanakan pembangunan nasional dengan
menekankan pada pembangunan pendidikan guna pengembangan kualitas sumber daya
manusia. Pengembangan sumber daya manusia, dari aspek pendidikan berarti
mengembangkan pendidikan baik aspek kuantitas maupun kualitas. Aspek kuantitas
menekankan pada perluasan sekolah sehingga penduduk memilki akses untuk bisa
mendapatkan pelayanan pendidikan tanpa memandang latar belakang kehidupan
mereka. Dari aspek kualitas , pengembangan sumber daya manusia berarti
pendidikan dalam hal ini kualitas sekolah harus selalu ditingkatkan dari waktu
ke waktu. Kualitas sekolah memiliki tekanan bahwa lulusan sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal memiliki kemampuan yang relevan dan diperlukan dalam
kehidupannya.
Peningkatan mutu pendidikan melalui
standarisasi dan profesionalisasi yang sedang dilakukan dewasa ini menuntut
pemahaman berbagai pihak terhadap perubahan yang terjadi dalam berbagai komponen
sistem pendidikan. Perubahan kebijakan pendidikan dari
sentralisasi menjadi desentralisasi telah menekankn bahwa pengambilan kebijakan
berpindah dari pemerintah pusat (top government) ke
pemerintahan daerah (district government), yang berpusat di pemerintahan
kota dan Kabupaten. Dengan demikian, kewenangan-kewenangan penyelenggaraan
pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah berada di pundak Pemerintah
Kota dan Kabupaten, sehingga implementasinya akan diwarnai oleh political
willpemerintah daerah, yang dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda).
Dalam hal ini, tentu saja yang paling menentukan adaah Bupati/Walikota, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Kepala Dinas Pendidikan beserta
jajarannya. Oleh karena itu, merekalah yang paling bertanggung jawab terhadap
peningkatan mutu/kualitas pendidikan di daerahnya, meskipun tidak selamanya
demikian, karena dalam pelaksanaannya tidak sedikit penyimpangan dan salah
penafsiran terhadap kebijakan yang digulirkan, sehingga menimbulkan berbagai kerancuan
bahkan penurunan kualitas.
Dalam konteks otonomi daerah dan
desentralisasi pendidikan, keberhasilan dan kegagalan pendidikan di sekolah
sangat bergantung pada guru, kepala sekolah dan pengawas, karena ketiga figur
tersebut merupakan kunci yang menetukan serta menggerakan berbagai komponen dan
dimensi sekolah yang lain (Mulyasa, 2012). Dalam posisi tersebut baik buruknya
komponen sekolah yang lain sangat ditentukan oleh kualitas guru, kepala
sekolah, dan pengawas, tanpa mengurangi arti penting tenaga pendidikan yang
lain. Implementasi desentralisasi pendidikan menuntut kepala sekolah dan
pengawas untuk mengembangkan sekolah yang efektif dan produktif, dengan penuh
kemandirian dan akuntabilitas.
Pendidikan bangsa Indonesia sekarang ini
sangat memprihatinkan banyak kasus-kasus yang terjadi di setiap penjuru negeri. Masalah
pendidikan yang ada di Indonesia semakin hari semakin rumit, bertambah banyak
dan komplek. Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan
pendidikan, meskipun mungkin telah banyak upaya dilakukan untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya kurikulum nasional dan lokal,
peningkatan kompetensi guru melalui pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan
dan perbaikan sarana dan prasarana dan peningkatan mutu manajemen sekolah.
Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan
peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota menunjukkan
peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, tetapi sebagian lainnya
masih memprihatinkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar